Rabu, 05 Maret 2014

Pengalaman Pertama Berhadapan dengan Orang Mabuk

Aku sedikit tercenung ketika namaku disebut “Nah, ini Anggia juga.” Tubuhku selama sepersekian detik membatu. Kemudian kembali dinamis, dengan berucap “Ada apa ya, Mas?”
Darisitulah ceramah dengan pola mbulet bermula. Aku hampir tak bisa menangkap maksud yang dia utarakan. Intinya, aku harus jaga diri, jangan terlalu sering pulang malam, dan jangan terpengaruh dengan dua kawanku diatas. N dan A. Ya, aku memang pulang malam karna rapat yang berlangsung hingga larut, walau begitu kuusahakan agar jam 10.00 aku pulang (kosan tutup jam segitu). Dan soal pengaruh buruk dari dua kawanku, aku sempat bingung. Bagiku, mereka adalah teman yang baik. 

Meski cerewet dan gokil tapi mereka tak pernah sekalipun memberi pengaruh buruk. Dan CK (penjaga kosku—pemilik kosku bermukim di luar kota), menyebut-nyebut nama mereka berkali-kali layaknya tersangka utama dalam sebuah kejahatan keji. Sambil menyebut, ras “Si batak itu!”, dia bersungut-sungut. Dalam hati, aku membenci perbuatannya, marah tidak harus rasis, Bung!

Tiba-tiba istri CK datang untuk menyuruh pulang. Tapi CK malah mengusir istrinya “Turu kone! mule! mule!” Melihat kondisi sang suami yang pitamnya naik dan tak beres, si istri hanya bisa mengangguk dan pergi.

Ceramah keeps going on. aku pun hanya bisa mengangguk-ngangguk saja, pura-pura mengamini, tanpa berusaha menelan. Aku yang biasanya sedikit rebel, memilih abstain untuk bertindak frontal—karena aku tahu ada yang tak beres dalam dirinya.

Bau mulutnya menguarkan bau asing. Dan itu bukan bau rokok (meskipun saat itu ia tengah mengisap rokok). Bau itu begitu kental tercium tiap dia berkata-kata. Aku berusaha menerka-nerka bau apa gerangan. Namun gagal.

Tak hanya bau mulut. Namun juga tatapan. Tatapannya tajam, matanya sedikit merah. Sekilas aku takut menatapnya terlalu lama. Belum lagi, dalam bicaranya dia sering menyisipinya dengan tepukan pada lenganku disertai elusan singkat. Jujur aku risih. Walau begitu aku tak bisa menghindar, karna khawatir dia akan tersinggung.

Ceramah dengan omongan tak jelas, penuh bumbu dan sedikit tipu-tipu itu berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Aku sudah lelah berdiri, meski begitu kupaksakan untuk kuat. Walau, aku berbohong ingin mengerjakan tugas, ceramah tetap lanjut. Aku sampai bosan, kupingku karatan. Akhirnya, anak pemilik kosan, berusaha memberi pengertian agar aku dibiarkan mengerjakan tugas sekaligus istirahat.

Saat dia telah pergi, maka aku pun bertanya mengapa CK jadi demikian kepada anak pemilik kosan. “Iya, dia habis minum, mangkanya kayak gitu.” Aku pun mengangguk mafhum dengan tatapan ngeri. Orang yang seharusnya menjaga kami ternyata seorang pemabuk! (Ya, Tuhan. Lindungi kami.)
Beberapa menit kemudian, CK kembali. Dia ingin melabrak N. Aku dan anak pemilik kos pun berusaha memberi pengertian agar hal tersebut urung dilakukan. Namun, CK  (karna dia mabuk), bersikukuh. Kami pun terus berkata “Sudah, besok saja, Mas. N pasti sudah tidur. Nggak enak juga. Besok saja.”

Dan, Alhamdulillah, CK pergi. Dan, aku merasa aman kembali.

Dan barusan. Barusan saja. Aku sempat merenung. Tentang istri dan anaknya. Betapa malang nasib mereka. Seorang ayah yang seharusnya memberi contoh baik dan mengayomi justru mabuk-mabukkan. Bagaimana nasib mereka kedepan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar