Aku sedikit tercenung ketika namaku disebut “Nah, ini Anggia
juga.” Tubuhku selama sepersekian detik membatu. Kemudian kembali dinamis,
dengan berucap “Ada apa ya, Mas?”
Darisitulah ceramah dengan pola mbulet bermula. Aku hampir
tak bisa menangkap maksud yang dia utarakan. Intinya, aku harus jaga diri,
jangan terlalu sering pulang malam, dan jangan terpengaruh dengan dua kawanku
diatas. N dan A. Ya, aku memang pulang malam karna rapat yang berlangsung
hingga larut, walau begitu kuusahakan agar jam 10.00 aku pulang (kosan tutup
jam segitu). Dan soal pengaruh buruk dari dua kawanku, aku sempat bingung.
Bagiku, mereka adalah teman yang baik.
Meski cerewet dan gokil tapi mereka tak
pernah sekalipun memberi pengaruh buruk. Dan CK (penjaga kosku—pemilik kosku
bermukim di luar kota), menyebut-nyebut nama mereka berkali-kali layaknya
tersangka utama dalam sebuah kejahatan keji. Sambil menyebut, ras “Si batak
itu!”, dia bersungut-sungut. Dalam hati, aku membenci perbuatannya, marah tidak
harus rasis, Bung!
Tiba-tiba istri CK datang untuk menyuruh pulang. Tapi CK
malah mengusir istrinya “Turu kone! mule! mule!” Melihat kondisi sang suami
yang pitamnya naik dan tak beres, si istri hanya bisa mengangguk dan pergi.
Ceramah keeps going on. aku pun hanya bisa
mengangguk-ngangguk saja, pura-pura mengamini, tanpa berusaha menelan. Aku yang
biasanya sedikit rebel, memilih abstain untuk bertindak frontal—karena aku tahu
ada yang tak beres dalam dirinya.
Bau mulutnya menguarkan bau asing. Dan itu bukan bau rokok
(meskipun saat itu ia tengah mengisap rokok). Bau itu begitu kental tercium
tiap dia berkata-kata. Aku berusaha menerka-nerka bau apa gerangan. Namun
gagal.
Tak hanya bau mulut. Namun juga tatapan. Tatapannya tajam,
matanya sedikit merah. Sekilas aku takut menatapnya terlalu lama. Belum lagi,
dalam bicaranya dia sering menyisipinya dengan tepukan pada lenganku disertai
elusan singkat. Jujur aku risih. Walau begitu aku tak bisa menghindar, karna
khawatir dia akan tersinggung.
Ceramah dengan omongan tak jelas, penuh bumbu dan sedikit
tipu-tipu itu berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Aku sudah lelah
berdiri, meski begitu kupaksakan untuk kuat. Walau, aku berbohong ingin
mengerjakan tugas, ceramah tetap lanjut. Aku sampai bosan, kupingku karatan.
Akhirnya, anak pemilik kosan, berusaha memberi pengertian agar aku dibiarkan
mengerjakan tugas sekaligus istirahat.
Saat dia telah pergi, maka aku pun bertanya mengapa CK jadi
demikian kepada anak pemilik kosan. “Iya, dia habis minum, mangkanya kayak
gitu.” Aku pun mengangguk mafhum dengan tatapan ngeri. Orang yang seharusnya
menjaga kami ternyata seorang pemabuk! (Ya, Tuhan. Lindungi kami.)
Beberapa menit kemudian, CK kembali. Dia ingin melabrak N.
Aku dan anak pemilik kos pun berusaha memberi pengertian agar hal tersebut
urung dilakukan. Namun, CK (karna dia
mabuk), bersikukuh. Kami pun terus berkata “Sudah, besok saja, Mas. N pasti
sudah tidur. Nggak enak juga. Besok saja.”
Dan, Alhamdulillah, CK pergi. Dan, aku merasa aman kembali.
Dan barusan. Barusan saja. Aku sempat merenung. Tentang
istri dan anaknya. Betapa malang nasib mereka. Seorang ayah yang seharusnya
memberi contoh baik dan mengayomi justru mabuk-mabukkan. Bagaimana nasib mereka
kedepan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar