Tak
seperti laiknya kucing-kucingku yang lain, kucingku yang satu ini tak raib
nyawanya dibawah kedigdayaan ban kendaraan. Ia mati karena trauma. Ia mati
karna sepi yang merayapi.
Sebelum
mati, Pusy, begitu kami memanggilnya mengidap bisu diri yang akut. Ia tak mau
mengeong, bahkan meski aku yakin—begitu pula keluargaku, bahwa dia sedang
kelaparan. Pusy hanya bangkit sejenak, berjalan, kemudian minum, lalu diatas
keset dekat pintu ruang tamu dia pun kembali duduk atau bersila (entahlah, aku
kurang paham mendeskripsikan posisi tubuh kucing). Pusy kembali diam. Matanya
terpejam, seperti sedang mendalami sesuatu, kadang pula matanya setengah
terpejam setengah membuka, layaknya kucing yang menderita rasa kantuk namun tak
kunjung bisa tidur.
Pusy,
sebelum mati juga menderita sakit di kakinya (aku lupa kaki yang sebelah mana)—akibat
dari tergilas ban truk—truk sama yang merampas nyawa anak perempuannya
bseserta janin di dalam perutnya. Kami
tak mengerti tulangnya patah, atau sekedar memar dan trauma, yang jelas
semenjak itu dirinya pincang. Dan semenjak itu pula, Pusy yang biasanya manja
dan kadang menggemaskan berubah menjadi kucing yang lemas, tak bergairah,
seperti sesuatu telah pupus dari hidupnya.
Sebelum
itu, Pusy tinggal bersama dengan anak perempuan dan cucu laki-lakinya. Mereka
hidup bahagia. Namun, seperti kucing-kucingku sebelumnya, anak perempuannya dan
cucu laki-lakinya takluk dalam keperkasaan ban kendaraan. Ini adalah hal yang
wajar, mengingat rumahku di tepi jalan raya, dan seringkali mobil, sepeda
motor, bahkan truk lewat. Apalagi Ibuku mempunyai toko pupuk dan pestisida
sehingga acap kali truk berhenti di depan toko untuk menurunkan barang. Dan
disitulah, dibawah ban truk yang gemuk dan berotot, nyawa anak perempuannya
yang sedang mengandung habis.
Tubuh
Pusy (aku memanggil semua kucingku dengan “Pusy”—karena gampang, terlebih
karena nama inilah yang satu-satunya dipatuhi oleh kucing-kucingku) remuk,
tubuhnya pipih. Bahkan dari saking kuatnya ban itu menggencet tubuh kucingku,
janin yang dikandungnya sampai keluar setengah. Begitulah kata Ibuku yang
menyaksikkannya.
Aku, yang sedang bersekolah, untungnya tidak menyaksikan kejadian maha naas itu. Namun, aku tahu Pusy (si Ibu Pusy), naasnya menyaksikan kala nyawa anaknya hangus. Meskipun dia selamat karena hanya terserempet kaki, namun adakah yang lebih ganas dari sebuah kenangan buruk yang membekas?
***
Kematian
cucu Pusy juga tak kala menyedihkan. Berkali-kali dia lolos tertabrak
kendaraan, namun kala itu, sepertinya jatah nyawa kucingnya habis. Pusy yang satu
ini raib nyawanya karena mobil. Kejadian itu cepat sekali. Kata Ibuku yang
menyaksikannya dari toko, si Pusy berbulu putih berbintik hitam ini hendak
menyebrang, lalu tiba-tiba mobil lewat dengan kecepatan yang kukira tak sanggup
untuk mengerem. Tubuh kucingku terpental ke pinggir jalan. Disana dialasi
rimbun rerumputan, tubuhnya tergeletak tak berdaya. Ruhnya telah tersedot oleh
musabab dan sebab yang kompleks, tentang tulang yang remuk, jantung, darah, dan
sebagainya.
***
Kehilangan
keluarga mungkin membuat Pusy yang paling tua ini lemas dan paceklik. Seperti
ilalang kering yang ditiup angin timur, ke barat dan timur, terkantuk-kantuk antara
terus hidup atau mati.
Pusy, bahkan tak mau minum susu. Padahal bagi
kucing kampung sepertinya susu adalah minuman mewah dengan rasa wah yang dalam
keadaan sehat dia meminumnya dengan hasrat. Tapi, kali ini Pusy berdiam dalam
keadaan berbeda. Susu Dancow yang sengaja aku buatkan untuknya tak disentuh,
bahkan ketika aku mendorongkan wadahnya ke mulutnya hingga susu itu membercak
disana. Pusy hanya diam, bahkan dia menggeleng. Oh, Pusy, apa yang terjadi
padamu? Kenapa kamu bertapa seperti pengelana sakti, hah?
Andai
saja, ada dokter hewan di kotaku pasti aku bawa ia kesana. Namun, kotaku adalah
kota kecil, dokter hewan tak ada disini. Bahkan aku juga tak yakin kota
tetanggaku, Pamekasan memilikinya saat itu. Alhasil, disinilah kami, meratapi
kucing kami yang sedang sekarat. Kami berusaha untuk membuat semangat Pusy
sumringah kembali. Mulai dari memberinya ikan kesukaannya, menyendokinya susu,
bahkan Ayah berusaha mengolesi kaki Pusy yang sakit dengan balsem otot Geliga—memijatnya,
berharap Pusy lekas sembuh. Namun semua upaya itu nihil.
Dan
menjelang detik-detik diangaktnya ruh Pusy, tak ada dari aku, Ayah, Ibu, Mas
Randi, maupun pembantu yang mengetahuinya. Pusy, kami temukan membujur kaku
diatas keset. Kami kira ia sedang tertidur, namun ketika kami amati dari
perutnya tak ada nafas yang kembang-kempis, kami tahu Pusy telah tiada.
Pusy
memang cukup beruntung karena dia tak mati karena tertabrak kendaraan, jasadnya
masih dalam keadaan utuh, bersih dan baik ketika dikebumikan. Namun apakah bagi seekor kucing mati
karena sepi dan rasa sakit itu lebih baik? Entahlah, aku tak tahu, karena aku
belum pernah jadi kucing. Walau begitu, seandainya aku memilih, aku lebih baik
mati tertabrak saja dibanding dibunuh sepi dan rasa sakit yang menelan umurku
perlahan.
Untuk
Pusy,
Kucingku yang paling cantik, kucingku yang paling keibu-ibuan, dan paling keembah-embahan. Jika Tuhan menciptakan alam barzah untuk kucing (bukankah, katanya kucing adalah hewan kesayangan Rasul?) aku harap kamu disana aman, tentram, sehat, sentosa, bersama keluargamu dan kucing-kucing lainnya.
Kucingku yang paling cantik, kucingku yang paling keibu-ibuan, dan paling keembah-embahan. Jika Tuhan menciptakan alam barzah untuk kucing (bukankah, katanya kucing adalah hewan kesayangan Rasul?) aku harap kamu disana aman, tentram, sehat, sentosa, bersama keluargamu dan kucing-kucing lainnya.
Dengan
cinta,
Anggia, sekeluarga.
Anggia, sekeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar