Jumat, 14 Februari 2014

KISAH KUCINGKU MENJELANG AJAL


Tak seperti laiknya kucing-kucingku yang lain, kucingku yang satu ini tak raib nyawanya dibawah kedigdayaan ban kendaraan. Ia mati karena trauma. Ia mati karna sepi yang merayapi.

Sebelum mati, Pusy, begitu kami memanggilnya mengidap bisu diri yang akut. Ia tak mau mengeong, bahkan meski aku yakin—begitu pula keluargaku, bahwa dia sedang kelaparan. Pusy hanya bangkit sejenak, berjalan, kemudian minum, lalu diatas keset dekat pintu ruang tamu dia pun kembali duduk atau bersila (entahlah, aku kurang paham mendeskripsikan posisi tubuh kucing). Pusy kembali diam. Matanya terpejam, seperti sedang mendalami sesuatu, kadang pula matanya setengah terpejam setengah membuka, layaknya kucing yang menderita rasa kantuk namun tak kunjung bisa tidur.

Pusy, sebelum mati juga menderita sakit di kakinya (aku lupa kaki yang sebelah mana)—akibat dari tergilas ban truk—truk sama yang merampas nyawa anak perempuannya bseserta  janin di dalam perutnya. Kami tak mengerti tulangnya patah, atau sekedar memar dan trauma, yang jelas semenjak itu dirinya pincang. Dan semenjak itu pula, Pusy yang biasanya manja dan kadang menggemaskan berubah menjadi kucing yang lemas, tak bergairah, seperti sesuatu telah pupus dari hidupnya.

Sebelum itu, Pusy tinggal bersama dengan anak perempuan dan cucu laki-lakinya. Mereka hidup bahagia. Namun, seperti kucing-kucingku sebelumnya, anak perempuannya dan cucu laki-lakinya takluk dalam keperkasaan ban kendaraan. Ini adalah hal yang wajar, mengingat rumahku di tepi jalan raya, dan seringkali mobil, sepeda motor, bahkan truk lewat. Apalagi Ibuku mempunyai toko pupuk dan pestisida sehingga acap kali truk berhenti di depan toko untuk menurunkan barang. Dan disitulah, dibawah ban truk yang gemuk dan berotot, nyawa anak perempuannya yang sedang mengandung habis.

Tubuh Pusy (aku memanggil semua kucingku dengan “Pusy”—karena gampang, terlebih karena nama inilah yang satu-satunya dipatuhi oleh kucing-kucingku) remuk, tubuhnya pipih. Bahkan dari saking kuatnya ban itu menggencet tubuh kucingku, janin yang dikandungnya sampai keluar setengah. Begitulah kata Ibuku yang menyaksikkannya.

Aku, yang sedang bersekolah, untungnya tidak menyaksikan kejadian maha naas itu. Namun, aku tahu Pusy (si Ibu Pusy), naasnya menyaksikan kala nyawa anaknya hangus. Meskipun dia selamat karena hanya terserempet kaki, namun adakah yang lebih ganas dari sebuah kenangan buruk yang membekas?
***
Kematian cucu Pusy juga tak kala menyedihkan. Berkali-kali dia lolos tertabrak kendaraan, namun kala itu, sepertinya jatah nyawa kucingnya habis. Pusy yang satu ini raib nyawanya karena mobil. Kejadian itu cepat sekali. Kata Ibuku yang menyaksikannya dari toko, si Pusy berbulu putih berbintik hitam ini hendak menyebrang, lalu tiba-tiba mobil lewat dengan kecepatan yang kukira tak sanggup untuk mengerem. Tubuh kucingku terpental ke pinggir jalan. Disana dialasi rimbun rerumputan, tubuhnya tergeletak tak berdaya. Ruhnya telah tersedot oleh musabab dan sebab yang kompleks, tentang tulang yang remuk, jantung, darah, dan sebagainya.
***
Kehilangan keluarga mungkin membuat Pusy yang paling tua ini lemas dan paceklik. Seperti ilalang kering yang ditiup angin timur, ke barat dan timur, terkantuk-kantuk antara terus hidup atau mati.

Pusy, bahkan tak mau minum susu. Padahal bagi kucing kampung sepertinya susu adalah minuman mewah dengan rasa wah yang dalam keadaan sehat dia meminumnya dengan hasrat. Tapi, kali ini Pusy berdiam dalam keadaan berbeda. Susu Dancow yang sengaja aku buatkan untuknya tak disentuh, bahkan ketika aku mendorongkan wadahnya ke mulutnya hingga susu itu membercak disana. Pusy hanya diam, bahkan dia menggeleng. Oh, Pusy, apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bertapa seperti pengelana sakti, hah?

Andai saja, ada dokter hewan di kotaku pasti aku bawa ia kesana. Namun, kotaku adalah kota kecil, dokter hewan tak ada disini. Bahkan aku juga tak yakin kota tetanggaku, Pamekasan memilikinya saat itu. Alhasil, disinilah kami, meratapi kucing kami yang sedang sekarat. Kami berusaha untuk membuat semangat Pusy sumringah kembali. Mulai dari memberinya ikan kesukaannya, menyendokinya susu, bahkan Ayah berusaha mengolesi kaki Pusy yang sakit dengan balsem otot Geliga—memijatnya, berharap Pusy lekas sembuh. Namun semua upaya itu nihil.

Dan menjelang detik-detik diangaktnya ruh Pusy, tak ada dari aku, Ayah, Ibu, Mas Randi, maupun pembantu yang mengetahuinya. Pusy, kami temukan membujur kaku diatas keset. Kami kira ia sedang tertidur, namun ketika kami amati dari perutnya tak ada nafas yang kembang-kempis, kami tahu Pusy telah tiada.

Pusy memang cukup beruntung karena dia tak mati karena tertabrak kendaraan, jasadnya masih dalam keadaan utuh, bersih dan baik ketika dikebumikan. Namun apakah bagi seekor kucing mati karena sepi dan rasa sakit itu lebih baik? Entahlah, aku tak tahu, karena aku belum pernah jadi kucing. Walau begitu, seandainya aku memilih, aku lebih baik mati tertabrak saja dibanding dibunuh sepi dan rasa sakit yang menelan umurku perlahan.

Untuk Pusy,

Kucingku yang paling cantik, kucingku yang paling keibu-ibuan, dan paling keembah-embahan. Jika Tuhan menciptakan alam barzah untuk kucing (bukankah, katanya kucing adalah hewan kesayangan Rasul?)  aku harap kamu disana aman, tentram, sehat, sentosa, bersama keluargamu dan kucing-kucing lainnya.

Dengan cinta,
Anggia, sekeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar