Kamis, 20 Juni 2013

REFLEKSI MAGANG SIAR 16 JUNI 2013


Kemarin disebuah pertemuan organisasi yang saya ikuti sempat mencuat pertanyaan “kenapa jika polisi memukuli warga maka itu dipermasalahkan namun mengapa jika warga yang memukuli polisi itu tidak dipermasalahkan. Padahal memang si warga salah dan keduanya toh juga sama-sama melanggar HAM.”

Pertanyaan diatas sebenarnya adalah logika terbalik yang memang menarik untuk ditanyakan. Polisi sebagai sebuah jabatan yang mengampu label pengayom dan penjaga keaman serta ketertiban masyarakat  tentu saja diharapkan bisa memebri contoh yang baik kepada masyarakat. Tindakan polisi yang sedikit saja melanggar hukum akan langsung disoroti lebih oleh masyarakat dibanding masyarakat itu sendiri yang melakukan hal serupa. Mereka (polisi) terjebak dalam sebuah istilah yang saya sebut  ‘lingkaran label’. Sebuah posisi apapun di masyarakat pastinya mengusung label masing-masing, seperti guru sebagai pendidik,  dokter sebagai penyelamat jiwa, ustad sebagai pemberi tausyiah dan mengerti banyak soal agama, dan posisi lainnya. Posisi-posisi tersebut tanpa kita sadari telah membentuk suatu ‘label’ tersendiri dalam hubungan sosial.

Polisi sebagai pengayom, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat akan dianggap ‘kafir’ jika ia mengkhianati label yang selama ini mereka usung, misalnya dengan melakukan pemukulan pada mahasiswa yang misalnya sedang melakukan unjuk rasa, meski mahasiswa tersebut memang bersalah. Tentu akan timbul sebuah pertanyaan ironi dalam masyarakat “katanya pengayom masyarakat, tapi kok ya mukulin warganya?”

Kata-kata ironi seperti inilah yang secara alamiah timbul dalam tatanan sosial kita. Sebaliknya, jika mahasiswa yang melakukan pemukulan pada aparat keamanan, dalam hal ini polisi, maka hal tersebut dianggap biasa-biasa saja atau mungkin dianggap buruk namun dengan kadar keburukan yang tidak seberapa dibanding jika malah polisi yang melakukannya. Kenapa? Karena dalam masyarakat, mahasiswa mendapat label sebagai kaum pelajar, vokal, energik, dan suka demo. Disini, mahasiswa, tidak memegang label sebagai “pengayom masyarakat”. Maka pantas saja, dimana-dimana jika polisi yang mukul mahasiswa, polisi yang dicap salah bahkan arogan, sedangkan jika mahasiswa memukul polisi maka itu dianggap biasa saja.

Hal sama bisa kita analogikan pada posisi-posisi lain dengan label yang berbeda-beda. Seorang guru atau dosen misalnya yang bolos mengajar, pasti akan dianggap sangat keterlaluan karena hal itu dianggap telah mencederai ‘label’ guru atau dosen sebagai pendidik yang dituntut untuk memberi contoh yang baik pada siswa maupun mahasiswa yang dididiknya. Namun jika, siswa atau mahasiswa yang bolos maka itu dianggap biasa saja.
Contoh lainnya yaitu ustad, jika seorang ustad, misal saja ustad muda pacaran maka tindakan itu akan dibaiat sebagai perbuatan tak etis oleh masyarakat. Sebaliknya, jika muslim biasa seperti kita yang pacaran maka hal itu diangggap wajar-wajar saja. Padahal dalam islam pacaran itu ya haram (oops, maaf bagi muslim yang pacaran tidak bermaksud untuk menghakimi kalian J )

Kawan, pada dasarnya kita semua berada pada ‘lingkaran label’, apa yang kita perbuat akan selalu disangkut pautkan dengan label yang kita punya. Beberapa dari kita mungkin tidak menyadari akan fenomen pelabelan ini, ya mau bagaimana lagi, inilah kehidupan sosial, dimana tidak semua tertulis, justru yang tidak tertulis itulah yang kadang lebih bahaya dan perlu diwaspadai karena bentuknya yang metafisik dan relatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar