
Malam tahun baru adalah malam yang sangat spesial bagi kami semua karena di malam itu kami akan berkumpul di tempat favorit kami, yaitu Bukit Bintang untuk menikmati pergantian malam tahun baru dan mengucap resolusi bersama di salah satu titik tertinggi di Jogja. Aku, Mifta, Denim, Cuprit dan Alice, bersama-sama menikmati gemerlap puluhan bahkan hampir ratusan kembang api meletup-letup di langit seperti percikan warna-warni yang riuh senang. Aku menyebutnya kembang langit. Teman-temanku banyak yang kurang setuju dengan sebutan itu, bagi mereka, kembang api tetaplah kembang api, tak perlu dirubah menjadi kembang langit. Namun, aku berdalih, bahwa kembang langit akan menambah unsur estetika kembang api dari segi bahasa. Mereka hanya tergelak dengan tawa tertahan, lalu salah satu dari mereka malah berkata, “Aku lebih suka kembang loyang, Dis! Estetika dapet, kenyangnya dapet.” Tawapun pecah
Semenjak beberapa bulan lalu kami punya anggota bayangan, namanya Delta, sepupunya Mifta yang baru pindah sekolah dari Tangerang. Delta, hadir hanya saat kami merayakan malam tahun baru saja karena dia adalah orang yang sangat sibuk.
***
Tahun
baru 2005
Malam
itu langit Jogja tampil dengan kondisi prima, tak ada mendung, dan tak hujan.
Langit tampak bak bentangan maha luas beludru hitam dengan berlian-berlian yang
bertaburan di permukaannya. Dari sini, langit dan bumi seperti membangun kerja
sama apik untuk menjadikan malam tahun baru ini begitu sumringah dan meriah.
Dari bawah lampu-lampu gemerlapan dengan genit meminta perhatian. Sinarnya
bulat-bulat dengan tempias udara yang membuatnya kadang bergoyang-goyang. Lampu-lampu
itu berbaris membentuk noktah-noktah tak beraturan.
Meski kawasan ini lumayan sering kami kunjungi, namun kami tak kunjung bosan untuk mengagumi tempat ini, dimana dua langit bertemu: langit bawah dengan lampu-lampu sebagai bintangnya dan langit atas dengan bintang sungguhan.
“Guys, jagung!” teriak Delta yang saat ini sedang menuju kami dengan setumpuk jagung diatas talam. Kawan-kawanku bersorak, sedangkan aku, hanya bisa menarik nafas panjang. Orang itu, batinku.
“Dis, nggak mau jagung? Masih hangat pul lho! Hangat mengepul-ngepul, heemm…” Goda Cuprit membaui jagungya yang beraoma keju. Mungkin baginya, aneh melihat diriku yang anteng ayem seperti ini sementara yang lainnya beringas mencomoti biji-biji jagung, mengingat dari rumah perut kami memang belum tersentuh makan malam.
“Iya, duluan aja, aku belum begitu lapar kok!” dustaku
“Wuih, kuat banget! Itu perut super juga ya! Haha” jawab Cuprit
“Woi, lo kenapa Dis? Perut lo lemah syahwat?” timpal Mifta temanku yang berasal dari Depok.
Aku hanya tersenyum saja, meski kuakui daritadi perut ini sudah mengkerut-kerut minta tumbal.
“Ini, makan. “ Sesosok suara maskulin yang kukenal terdengar dari sampingku. Delta!
“Hah? Oh, iya… Kamu makan aja dulu.”
“I have mine. Ini buat kamu. Kita semua kan belum makan malam.” balasnya sambil tersenyum
Aku bingung. Entahlah aku ingin mengatakan sesuatu, namun lidahku tiba-tiba seperti menempel di langit-langit mulut dan enggan lepas. Aku hanya bisa menunduk, lalu tanpa melihat wajahnya, aku menyambar jagung itu yang tanpa kusadari telah habis dalam waktu kurang dari lima menit.
“Makasih” ucapku. Delta hanya mengerutkan alisnya, jelas sekali ada rona bingung dan terkejut dari wajahnya. “Oh, maaf telat!”, lanjutku malu.
“Buh…Buahaha, kamu cepet banget makannya! Aku kira kamu belum lapar! Hayo, kamu bohong ya?” tatapan matanya penuh selidik ke arahku, ais! mata elang itu lagi! teriakku dalam batin.
“Hah? E…enggak… kok!” jawabku terbata-bata. Delta hanya bisa menatapku, bibirnya yang tipis mengkerucut ke depan. Lalu pelan-pelan dia tersenyum tipis. Aku masih menatapnya. Sedetik kemudian otakku buntu, jantungku kurang oksigen akibat bekerja terlalu berlebihan memompa darah. Untuk mengatasi suasana genting itu, kukeluarkan jurus ampuh yang telah teruji selama berpuluh-puluh tahun disituasi kembar seperti ini, yaitu: kuangkat sauh tatapanku dari objek. Untungnya, saat itu kembang langit telah unjuk gigi di langit, aku pun berkata “ Hei, lihat!”, Delta menoleh ke langit, tempias cahaya kembang langit terlukis di kacamatanya. Mulutnya sedikit menganga kemudian tersenyum lebar. Saat itu, jujur aku bingung, entah kembang langit yang harus kulihat, ataukah Delta yang untuk pertama kalinya berada sedekat ini denganku.
Entahlah darimana rasa ini mulai bercerita, yang kutahu tiba-tiba saja semuanya berbeda. Orang itu datang ke kehidupanku bersamaan dengan hari ulang tahunku. Saat itu Mifta membawa seseorang berambut sedikit gondrong, kurus, dan berkacamata, namun berkharisma. Mifta memperkenal orang itu sebagai Delta, sepupunya dari Tangerang yang pindah ke Jogja karena orang tuanya pindah bertugas ke kota ini. Delta sekolah di sekolah unggulan nomor satu di kota ini. Sedangkan kami bersekolah di sekolah unggulan nomor tiga. Delta juga adalah satu-satunya di Star Admirer yang bisa mengalahkan kesibukan Alice. Aku kira, Alice sudah super sibuk dengan sekolah dan modelnya, eh, ternyata ada orang yang lebih sibuk dari dia.
Kesan pertama yang kudapat dari orang ini adalah dia itu cuek. Dan memang demikian adanya. Delta tak terlalu banyak bicara, tak seperti sepupunya yang pecicilan. Dia hanya akan bicara di saat yang dibutuhkan, dan memberi tanggapan dengan teori-teorinya yang sedikit melenting dari biasanya, namun menurutku brilian. Contohnya, acara malam tahun baru tahun 2004 saat itu kami berdebat soal bintang favorit kami, kebanyakan dari kami menyebutkan Sirius, Canopus ataupun Arcturus, karena memang bintang-bintang itulah yang cahanya paling cemerlang di langit. Namun ketika Delta ditanya soal bintang favoritnya, dia malah menjawab “Bintang redup,” sontak kami semua saling menatap bingung. Lalu, Delta melanjutkan “Sebagian dari kalian sibuk mengagumi bintang-bintang paling cemerlang di langit, tanpa coba melihat sepintas pada mereka bintang-bintang redup. Aku suka bintang yang redup karena bagiku dia misterius. Perlu teropong bintang super canggih dengan lensa berlapis-lapis untuk sekedar menikmatinya dengan jelas. Sementara bintang-bintang yang cemerlang itu, tak perlu banyak usaha untuk menyaksikan kemilaunya, karena mereka sudah cukup terlihat dari bumi. Aku percaya, bintang yang redup, meskipun letaknya super jauh dari sini, dan cahayanya begitu terlihat rapuh dari sini, bisa jadi dia punya kekuatan yang sama atau malah lebih besar dari mereka yang cemerlang dari sini.”
Untuk beberapa saat kami larut dalam penjelasan Delta. Teorinya soal bintang redup, sungguh memukau. Ah, filosofis sekali bukan? Delta, Delta… Begitu mudahnya bagimu memutar balikkan nalar kami. Kemudian aku dan kawan-kawanku pun mengangguk-ngangguk, masih menatap ke arah Delta, terutama Alice yang saat itu dengan gamblang menampakkan kekagumannya yang luar biasa pada Delta. Dan aku saat itu, meskipun terlihat biasa saja namun sebenarnya hatiku bergejolak hebat karena berusaha keras untuk tidak larut dalam buaian.
***
Malam tahun baru 2006. Entahlah, mungkin ini yang
dinamakan cemburu. Delta dan Alice terlihat intim dalam obrolan yang mereka
balut bersama. Sesekali gelak tawa terdengar dari keduanya. Merangsang Denim,
Cuprit dan Mifta untuk berkasak-kusuk ria, tentang hubungan keduanya. Dalam
persepsi mereka, Alice dan Delta pastilah sedang dibelai asmara. Mereka pun
terkikik riang ketika membayangkan jika keduanya jadian.
“Alice dan Delta. Wah, pasangan serasi ya mereka! Yang satunya kece, berkharisma, pinter lagi, yang satunya model, cantik, dan pintar juga. Ah, klop dah!” semuanya mengangguk-ngangguk dengan seringai lebar. Aku pun berupaya sekuat tenaga untuk tersenyum, berpura-pura bahagia meski hatiku ngilu. Tak tahan aku pun menghindari mereka, pergi menjauh dengan alasan ingin jalan-jalan.
Sepertinya ada yang akan luruh di mataku, sesuatu yang hangat. Entahlah, sebenarnya apa yang kurisaukan? Bukankah teman-temanku benar, mereka itu serasi! Dan daripada aku tentulah Alice lebih pantas bersanding dengan Delta. Daripada aku? Aku hanyalah wanita biasa. Entahlah, apa aku sanggup untuk memukau Delta. Itu dia! aku harus jadikan diriku pantas untuknya! Delta, tunggu aku!
“Hei,” suara yang kukenal, dan itu membuat jantungku berdegup kencang. Aku
menoleh sembari berusaha tersenyum meski kutahu sepertinya senyumku akan kaku.
“Hai,”
“Kamu ngapain disini, Dis?”
“Oh, aku hanya cari udara segar?”
“Memangnya, udara disini nggak semuanya segar ya? Berarti ada spot-spot sendiri dong yang nyediain udara segar?”
“Hah? Oh, nggak maksudku… Itu, ehm… Aku sepertinya nggak enak badan, masuk angin barangkali. Mangkanya aku kesini” Duh, bego! kok nggak nyambung gini sih jawabanku? Kalo masuk angin kenapa aku malah keluar dari warung? Duh, Disti….! Control yourself!
“Hahah…Kamu aneh! Ehm, nih obat masuk angin. Cuma ini yang aku punya.”
“Oh, makasih.” ujarku sambil mengambil sebuah obat cair masuk anginnya, kutatap matanya sejenak kemudian seperti biasa kubuang pandanganku pada yang lainnya. “Del, Alice kemana?”
“Oh, dia lagi gabung sama yang lainnya”
“Terus kamu ngapain kesini?”
“Ya…kan aku lagi masuk angin, hehe,”Wajahku bersemu merah, Delta! Tolong jangan buat aku mati gaya sekarang!
Saat jam 00.00 tepat, lolongan terompet terdengar mendayu-dayu, silih berganti, dengan oktaf yang tak karuan, seenak hembus nafas mereka bisa meniupnya. Kami merangkul bahu masing-masing kawan kami, lalu meniup terompet dengan sekuat nafas kami. Lalu kami pun bersiap-siap untuk mengucapkan resolusi. Dan resolusiku adalah agar aku bisa lebih pantas untuknya.
***
Aku tak tahu, ini prasangkaku saja atau bukan namun,
kadang aku merasa Delta memperhatikanku diam-diam. Entahlah, saat aku berbaring menatap bintang
di halaman belakang rumahku, saat aku menyiram tanaman, saat aku berkumpul
dengan Star Admirer ketika tahun baru. Anehnya, perasaan itu sering muncul,
perasaan bahwa Delta sebenarnya sedang memperhatikanku.
Jujur, aku tak berharap Delta menyukaiku sekarang. Karena aku masih merasa belum pantas. Mungkin ya, menyenangkan jika Delta menyukaiku sekarang. Bukankah, sangat indah jika rasa kita berbalas? Tapi, aku tak mau rasa itu datang sebelum waktunya tepat. Maksudku aku hanya ingin membuat Delta tak menyesal memilihku. Aku ingin menjadi sebaiknya Disti dihadapan dia. Menjadi pasangan yang bisa dia banggakan dan elu-elukan.
***
Akhir-akhir ini, Delta semakin sering bersama Alice.
Kudengar dari sepupunya, Mifta kalau tiap malam minggu kini mereka sering
keluar bersama, dan Mifta curiga mereka telah jadian tanpa memberitahu kami
semua. Aku hancur. Tapi apanya yang salah? Bukankah mereka terlihat sempurna
dan serasi satu sama lain? Bukankah lebih baik bagi Delta mendapatkan wanita
yang bisa mengimbanginya, yang bisa dibanggakannya.
Mifta tak henti-hentinya, bercerita tentang kedekatan-kedekatan mereka yang terjalin akhir-akhir ini, yang bagiku hanya terdengar sebagai gumaman saja karena pikiranku sudah tak utuh lagi, sebagaimana hatiku yang baru saja kehilangan salah satu kepingannya.
***
Tahun 2006 tak terasa sudah diujung tanduk, sebentar lagi
dia akan lengser digantikan oleh tahun 2007. Seperti biasa, acara seremonial pergantian
tahun klub kami akan diadakan di tempat yang sama di Bukit Bintang, Gunung
Kidul. Acara pergantian tahun baru kali ini kata teman-temanku akan menjadi malam
pergantian terspektakuler karena akan ada acara peluncuran kembang api
terbanyak se-Indonesia yang akan dilaksanakan di Alun-alun dan dimaktubkan di
museum rekor Indonesia. Dan kami akan bisa menyaksikannya di bukit ini. “Bayangkan!
Kembang api yang meletus-letus liar di langit dengan latar bintang-bintang!
Wuih, Gila!” sorak Denim yang sudah tak sabaran menanti datangnya malam.
Alasan kedua, kenapa malam ini terasa begitu spektakuler adalah karena teman-temanku juga berencana akan membuat Alice dan Delta mengaku bahwa mereka jadian dengan apapun caranya, begitu kata mereka. Dengan demikian mereka akan mendapat PJ (Pajak Jadian) yang bisa jadi akan menambah kespektakuleran malam pergantian tahun baru kali ini. Alasan ketiga adalah, ini adalah malam pergantian tahun baru terakhir yang bisa kami lewati bersama, karena tahun depan kami mungkin tak lagi di kota ini, untuk kuliah. Dan itu membuatku sedih, entahlah, pergantian tahun baru tanpa Delta, dan menjalani tahun tanpa Delta, masih belum terpikirkan efek sampingnya.
Saat kami berkumpul bersama di sebuah warung untuk menikmati jagung bakar dan kopi, rencana untuk membuat mereka mengaku mulai dijalankan. Aku sebenarnya begitu tak bergairah melakukannya, namun mau tak mau harus kupaksa diriku untuk ikut andil. Aku pun ikut berseloroh ciye-ciye ketika teman-temanku membuat mereka salah tingkah. Bahkan diluar dugaanku, ciye-ciye paling melengking dan nyaring dibandingkan yang lainnya. Aku bahkan ikut berargumen ketika mereka menampik tuduhan jadian itu.
“Sudahlah, kalian itu saling suka! Alice, jangan mengelak! Saat Delta bercerita soal bintang redup, aku tahu tatapanmu, ya tatapanmu, yang paling dalam dan menyimpan kekaguman dibanding yang lainnya. Dan aku tahu, tiap kali Delta berkumpul dengan kita, kamu lah yang paling lama dan dalam menatap matanya. Bahkan, aku tahu hanya saat malam pergantian tahun baru ini, kamu yang biasanya duduk disebelahku, rela pindah untuk duduk disampingnya. Alice, Alice, mengakulah! Dan, kamu Delta, aku yakin kamu menyukai Alice. Alice itu cantik, foto model, dia juga pintar! Mustahil kamu tidak suka! Dia adalah cewek paling pantas buat kamu. Delta, kamu itu, kamu itu Cassanova tanpa kamu minta. Lihatlah! Ada Alice yang aku yakin suka sama kamu. Dan Delta, kami sudah tahu kalau akhir-akhir ini kalian sering pergi keluar bersama tiap malam minggu. Apa itu kalau bukan kencan, hayo?” paru-paruku kembang kempis lebih cepat, nafasku saling berkejaran. Mereka tak menyangka kalau aku sedemikian detailnya mengamati hubungan mereka. Cuprit, Denim, Mifta, menganga tak percaya. Aku juga yang sebelumnya biasanya selalu lebih kalem jika ada Delta, sekarang begitu agresifnya berargumen soal hubungan mereka.
Tiba-tiba sorak-sorai membludak dari mulut Cuprit, Denim dan Mifta, ciye-ciye dan tepuk tangan mereka lebih keras. Kami mendesak Delta dan Alice mengaku segera. Alice dan Delta saling berpandangan. Kemudian Delta menarik nafasnya panjang, dan dengan satu hembusan dia berkata “Iya, kami jadian.” Sontak sorak-sorai kemenangan membuncah dari kami semua, termasuk aku yang mau tak mau harus kuat menahan ngilu hatiku yang semakin lama semakin mengoyak pertahananku. Tak kuat menahan, maka dengan berdalih ingin buang kecil, kulesatkan langkahku menuju toilet. Disana kupuaskan air mataku mengalir. Rasanya aku ingin berteriak, tapi yang keluar hanyalah isakan, dan nafas sengal. Tapi aku harus kuat, aku tak mau mataku bengkak di hadapan mereka, malam tahun baru belum usai. Maka kucoba membasuh mukaku dan kembali menemui mereka.
Saat aku kembali, mereka sedang berpesta pora menikmati PJ yang mereka dapat. Aku dengan pura-pura tertawa senang ikut menikmati jagung bakar, singkong bakar, kopi, dan roti bakar yang mereka berikan. Aku makan dengan binal sekali saat itu.
Tahun baru akhirnya tiba. Ratusan kembang langit dilecutkan dengan hampir serempak membuat langit menjelma menjadi parade kembang warna-warni. Letupan-letupan terdengar sahut menyahut, ditimpali oleh bunyi terompet memekakkan telinga. Sejenak kubisa lupakan sedihku. Lalu saat kembang langit paling besar dan tinggi meledak dilangit menjelma menjadi percikan-percikan api yang membentuk kembang yang sangat mekar, aku bersorak “Yeee! Kembang langiiit!”. Aku mematung sejenak, karena kusadari sorakanku tak sendiri. Semua teman-temanku berhenti tertawa, mereka menoleh padaku dan Delta karena kami mengucapkan Kembang langit bersama-sama. Aku menatap Delta dengan heran, dan dia hanya tersenyum konyol.
“Hahaha, gue kira cuma Disti aja disini yang pake kata aneh itu. Ternyata lo juga make, Del?”
“Iya, abis lucu gitu, hehe!” Delta mengacak-acak rambutnya, diiringi tawa kami yang menyembur kembali.
***
Delta
Namaku
Delta Arfano. Sejak beberapa tahun ini aku sedang menyukai seorang gadis. Gadis
itu tergabung dalam sebuah klub mini yang bernama Star Admirer. Agenda grup itu
adalah memburu tempat-tempat kece untuk dijadikan lahan pemuas nafsu mereka
dalam mengamati bintang, dan ngobrol-ngobrol tentang apa saja.
Gadis itu menarik dan menurutku paling menarik dari yang lainnya di klub itu. Berkali-kali aku ingin mendekati dan membangun suasana intim dengannya, namun sering gagal. Walau begitu, beberapa kadang berhasil. Tiap kali aku berbicara dengannya, aku merasa makin dekat dengannya, sekaligus makin banyak tanya yang ingin kuajukan padanya. Dia itu misterius. Aku mencoba membacanya, lewat tatapan dan gerak tubuh, tapi entahlah semuanya jadi malah menggiringku pada ambigu
Kadang aku merasa bahwa dia juga sebenarnya menyukaiku, dari beberapa tatapan tajam yang tanpa sengaja kucuri. Namun, semua itu seolah pupus ketika dia bertingkah seolah menjauhiku. Tiap kali aku di dekatnya dia seperti tidak mengacuhkanku. Belum lagi setelah kutahu dari Mifta, bahwa dia biasanya bertingkah lebih cerewet dibanding ketika aku di dekatnya. Aku pikir itu sebuah tindakan salah tingkah, namun si Mifta menjawab, “Haha… Kagak mungkin! Si Disti orangnya itu susah jatuh cinta! Lagian elo bukan tipenya! Dia lebih suka cowok yang lebih tua dan parlente getoh!”
Jadi, dia melakukan itu karena dia tidak menyukaiku? Oleh karena itu dia menjauhiku?
***
Aku ingin dia sadar bahwa selama ini aku memperhatikannnya. Meskipun aku jarang menemuinya, namun dia tak pernah tahu bahwa diam-diam aku menyelinap lewat jendela kamarku lalu menuju balkon tengah malam, hanya untuk melihatnya di halaman belakang rumahnya menatap langit, sambil bernyanyi dengan gitarnya. Suaranya memang tak semerdu Raisa, namun suaranya mengandung kejujuran dan kepolosan, dan aku suka. Disitu dia akan bernyanyi lagu, sebuah lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya--lagu yang sama, tentang bintang dan langit. Sebuah lagu yang tak kutemukan judulnya meski telah kumasukkan beberapa penggalan liriknya ke dalam mesin pencari google. Mungkinkah lagu ciptaanmu sendiri, untuk kekasihmu, Dis?
Kadang pula, aku mengamatinya, sedang menyiram tanaman. Dengan rambut yang diikat sembarang, membuat beberapa helaian rambutmu yang tak terikat terlihat lengah dipermainkan angin. Dan akupun tersenyum.
Jujur,
aku sebenarnya tak menginginkan gadis ini yang menghuni hatiku. Maksudku, dari
sekian banyak gadis yang mendekatiku, kenapa aku harus memilih dia? Dia
tidaklah cantik, tapi entahlah aku tak bisa mengelak bahwa dia menarik. Kucoba
untuk mengingkari bahwa aku tak mencintainya—bahwa ini adalah sebuah perasaan
yang timbul karena diriku yang kesepian setelah berpisah dari pacarku yang
terdahulu di Tangerang, dan dia hanyalah sebuah pengalih perhatian saja.
Maka saat kawan dekatnya, Alice, mengajakku keluar untuk menemaninya melepas pilu sehabis berpisah dengan kekasihnya, kusanggupi ajakannya. Aku berharap, Alice yang notabene cantik dan memukau (menurut pendapat Mifta) dan aku pun mengamininya, adalah sebuah jalan untuk menemukan sebuah pengganti yang lebih pantas.
Tiap kali aku bertemu Alice, kubuat diriku melupakan Disti. Kucoba mengelabui hatiku bahwa Alice lebih baik daripada Disti. Tapi yang terjadi, entahlah, aku malah dengan sengaja sering membelokkan percakapan ke seputar Disti. Setiap kali kudengar tentang Disti, daun telingaku melebar dan hatiku membumbung senang mendengar beberapa hal tentangnya, salah satunya bahwa Disti enggan menyebut kembang api dengan kembang api, melainkan dengan kembang langit, hanya karena ketika meletus di langit kembang api menyerupai kembang yang sedang mekar-mekarnya.
“Coba kamu perhatikan detik-detik mereka meletus, seeet… Duaaarrr, gitu katanya!” jelas Alice sembari memperagakan gerakan Disti, dengan menggerakkan tangan dari bawah ke atas lalu memekarkan jari. Aku pun tertawa. Sungguh kamu memang menarik, Disti.
***
Semakin hari, aku semakin dekat dengan Alice, dan itu membawaku lebih banyak tahu tentang Disti. Kepiluan Alice pun semakin lama, semakin pudar. Dia sekarang sudah bisa tertawa lebih sering. Aku pun senang bisa menghiburnya.
Walau begitu,di dalam hati, aku makin merindukan Disti. Kadang ada niat dalam hatiku untuk pergi mengunjungi rumahnya atau bergabung dalam acara nongkrong-nongkrong klub Star Admirer, tapi rasa takut dia tidak akan menyukai kehadiranku terus berkecamuk. Aku tidak ingin membuatnya tak nyaman. Oleh karena itu, aku hanya bisa mengamatinya diam-diam, dan datang saat malam tahun baru saja.
***
Malam tahun baru 2007, gosip berhembus bahwa aku dan Alice sudah jadian dan kami tidak memberi tahu mereka. Aku dan Alice pun berusaha menentang, karena memang tidak demikian adanya. Tapi desakan mereka untuk mengaku begitu bertubi-tubi, argumen-argumen mereka gelontorkan, dan terutama yang tak kusangka dari Disti. Dia begitu detailnya mengomentari soal hubungan kami. Aku sungguh tak menyangka jika selama ini dia sangat memperhatikan kami. Dan aku juga tidak menyangka bahwa sesungguhnya inilah yang diinginkan Disti selama ini—agar aku memadu kasih bersama Alice, sahabat paling dekatnya. Maka, demi melihat Disti bahagia, aku kabulkan permintaannya. Hari itu, dengan berat hati, kukatakan bahwa aku dan Alice berpacaran.
Tak kuduga, jawabanku itu dianggap serius oleh Alice. Aku pun tak berkutik, antara menjawab iya dan tidak, kuputuskan untuk menjawab iya. Aku tak ingin membuat Alice patah hati, terlebih mematahkan keinginan Disti. Alice pun dengan senang hati menganggap aku sebagai pacarnya. Dalam relung hati, kurasakan ngilu yang amat dahsyat. Oh, Disti, andai kamu tahu betapa sakitnya hati ini.
***
Malam tahun baru 2007 adalah malam tahun baru kami yang terakhir, karena setelah itu kami harus berpisah untuk menempuh pendidikan di jenjang bangku kuliah. Aku mendapat beasiswa untuk berkuliah di Inggris, dan Alice di Prancis. Sedangkan, Cuprit, Denim dan Mifta, masih berkuliah di Indonesia. Aku dan Alice masih berpacaran saat itu selama beberapa tahun kuliah disana. Kami masih sering bertemu, kadang di London, kadang di Paris. Sebelum akhirnya hubungan kami kandas, karena kecemburuan Alice, sebuah kecemburuan yang masuk akal dan benar.
Disti
Sejak berpisahnya kami karena mengejar mimpi
masing-masing, kami tak pernah lagi merayakan tahun baru bersama-sama. Semuanya
sibuk dengan urusan masing-masing, begitupun aku. Aku merindukan mereka,
terlebih kepada Delta. Delta, apa kabarmu saat ini? Tiba-tiba dadaku sesak, dan
aku kesulitan bernafas. Bersamaan dengan itu bulir-bulir hangat jatuh dari bola
mataku, dan semakin deras ketika kudengar beberapa bulan lalu bahwa hubungan
Delta dan Alice masih bertahan, dan mereka terlihat semakin serasi. Aku mencoba
berbahagia untuk mereka, dalam isakan yang mengendap-ngendap kucoba tersenyum,
karena sebentar lagi Alice akan datang menemuiku. Dan, oh Tuhan! Dia makin
cantik saja! Pantas saja Delta betah dengannya.
Alice
Setelah
lima tahun tak bertemu, akhirnya aku bertemu Disti kembali. Sayang sekali tapi,
si Cuprit, Mifta dan Denim berhalangan hadir karena urusan pekerjaan. Saat hendak
berangkat tiba-tiba aku merasa kedinginan, dan hendak meminjam jaket Disti.
“Hei,
aku pinjam jaketmu ya!” pintaku
“Oke, aku ambilin.” jawab Disti
“Nggak usah, aku bisa sendiri kok!”
“Oke,” ujar Disti, “Oh, ya ampun, aku lupa kado buat si Susi, sekarang kan dia ulang tahun! Kamu bisa tolong ambilin nggak? Di lemari bagian atas kotak warna merah.”
“No problemo,” jawabku.
Sesampainya di lemari, aku kebingungan, ada dua kotak merah disana, yang satu kecil dan satu sedikit lebih besar. Kuambil kotak yang lebih besar lalu aku membuka untuk mengeceknya. Alisku mengernyit. Sebuah bongkol jagung dan bungkus sachet jamu masuk angin berada disitu. Untuk apa Disti menyimpan semua ini? Lalu ada sebuah note, saat kubuka, sebuah tulisan menyambutku disitu
Untuk Delta, endapan-endapan rinduku yang enggan larut dan segitiganya kita.
Halaman selanjutnya, berisi percakapan-percakapan yang pernah Delta lontarkan, termasuk ucapannya soal bintang redup. Semuanya ditulis oleh Disti. Lalu kubuka lagi lembaran berikutnya, disitu foto Delta sedang menatap langit terpajang. Dari situ aku tahu bahwa Disti selama ini mencintai Delta.
Saat
aku berada di ruang tamu, kuhampiri Disti. Lalu aku pun menanyakan tentang
semuanya.
“Oh, makasih. Itu kotaknya. Ayo berangkat!”
“Disti, tunggu!” suaraku sedikit membentak
“Ada apa, Alice?”
“Apa maksud kamu selama ini? Kenapa selama ini kamu nggak jujur sama aku, sama kami? Kenapa kamu bohong?”
“A…apa maksud kamu, Alice?”
“Kamu selama ini cinta kan sama Delta? Ngaku!”
“A…Alice, ya, ya, tentu nggak lah! Mana mungkin aku cinta sama dia, Delta kan pacar kamu!”
“Nggak lagi, Alice! Delta sudah aku putusin karena selama ini dia nggak cinta sama aku! Dia cintanya sama kamu! Selama ini dia ngelakuin itu semua karena dia ingin memenuhi permintaan kamu, dan kasihan sama aku!”
“Ka..Kamu, Del..ta… Maksud Ka…”
“Dis, gimana aku bisa tahan pacaran sama dia kalau selama ini yang ada di pikiran dia cuma kamu! Setiap kali kami ngobrol kamu yang jadi topik utamanya! Dis, kalau kamu memang masih cinta Delta, temui dia sekarang! Sekarang dia di Solo.”
“Tapi, Alice? Aku masih belum pantas buat dia!”
“You have already, Dis! Lihatlah kamu sekarang! Kamu sudah jadi dosen, dan punya yayasan sosial mengajar anak-anak jalanan, dan sebentar lagi kamu dapat beasiswa! Kurang apalagi? Dis kamu, sudah pantas." jelasku sambil memegang lengannya. "Sekarang, kamu temui dia, dan bawa kotak merah kamu! Go!”
Buru-buru Disti menuju mobilnya setelah mendapat alamat Delta. Dan untuk pertama kalinya, meski sakit, namun aku merasa lega. Setelah menghapus air mata, kutulis pesan singkat ke nomer Delta: Bersiap-siaplah, sejaman lagi kembang langit kamu datang, Del!
Lalu ku klik send.
*Anggia Mirza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar