Alkisah, suatu ketika beberapa orang ditanyakan
tentang warna langit. Beberapa berkata biru, dan inilah yang mendapat suara
terbanyak. Namun beberapa menjawab hitam, kelabu, dan orange. Si kubu biru
tercengang dan dengan pandangan menentang ingin membantah, bagi mereka langit
itu harus dikatakan biru, karna begitulah sebagian besar menyebutnya—seperti
terlihat pada gambar, sisipan nama warna (biru langit), dan lain-lain. Si kubu
hitam tentu mencoba bertahan, bagi mereka langit itu hitam, karena ketika kita
keluar dari bumi justru warna hitamlah yang dominan. Dan bukankah, dengan latar
hitam cerlang benda-benda cerah lebih menawan?
Tak sampai disitu, kubu kelabu pun turut memberi
pemaparan. Bagi mereka langit itu kelabu, karna kelabu pertanda salah satu
anugrah Tuhan bakal turun. Hujan. Dan langit saat kelabu selalu membawa
keteduhan dan keadaan saat cerah dan gelap imbang—tak saling menindih, semuanya
tampil dengan gradasi yang apik.
Dan kubu orange, pun tak tinggal diam, bagi mereka
langit itu seharusnya dikatakan orange, karena ketika langit sedang orange;
pertanda bahwa babak baru akan segera dimulai: pagi ataupun malam. Dengan kata
lain, orange adalah induk dari mereka berdua. Dan bukankah (juga) saat orange
itu kelabu juga ikut andil? Bisa dibilang orange lah yang hanya bisa
mengakomodir kehadiran semua warna-warna itu.
Syahdan, semuanya sibuk bergumul mempertahankan pendapatnya
masing-masing. Suara-suara ambigu, masai, timbul-tenggelam, sehingga tak bayan
apa yang mereka katakan. Semua bertahan. Semua berbicara. Sementara langit
tetap saja seperti itu. Tak peduli pada orang-orang dengan urat tenggorokan
yang makin kejang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar