Rabu, 05 Maret 2014

Langit itu...


Alkisah, suatu ketika beberapa orang ditanyakan tentang warna langit. Beberapa berkata biru, dan inilah yang mendapat suara terbanyak. Namun beberapa menjawab hitam, kelabu, dan orange. Si kubu biru tercengang dan dengan pandangan menentang ingin membantah, bagi mereka langit itu harus dikatakan biru, karna begitulah sebagian besar menyebutnya—seperti terlihat pada gambar, sisipan nama warna (biru langit), dan lain-lain. Si kubu hitam tentu mencoba bertahan, bagi mereka langit itu hitam, karena ketika kita keluar dari bumi justru warna hitamlah yang dominan. Dan bukankah, dengan latar hitam cerlang benda-benda cerah lebih menawan?

Tak sampai disitu, kubu kelabu pun turut memberi pemaparan. Bagi mereka langit itu kelabu, karna kelabu pertanda salah satu anugrah Tuhan bakal turun. Hujan. Dan langit saat kelabu selalu membawa keteduhan dan keadaan saat cerah dan gelap imbang—tak saling menindih, semuanya tampil dengan gradasi yang apik.

Dan kubu orange, pun tak tinggal diam, bagi mereka langit itu seharusnya dikatakan orange, karena ketika langit sedang orange; pertanda bahwa babak baru akan segera dimulai: pagi ataupun malam. Dengan kata lain, orange adalah induk dari mereka berdua. Dan bukankah (juga) saat orange itu kelabu juga ikut andil? Bisa dibilang orange lah yang hanya bisa mengakomodir kehadiran semua warna-warna itu.

Syahdan, semuanya sibuk bergumul mempertahankan pendapatnya masing-masing. Suara-suara ambigu, masai, timbul-tenggelam, sehingga tak bayan apa yang mereka katakan. Semua bertahan. Semua berbicara. Sementara langit tetap saja seperti itu. Tak peduli pada orang-orang dengan urat tenggorokan yang makin kejang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar