Rabu, 05 Maret 2014

Gula Batu dalam Segelas Kopi


Di bait awal hari aku cemplungkan gula batu pada kopi dingin yang terlanjur pekat. Kuaduk hingga tanganku pegal tapi tak juga larut. Gula batu itu tetap saja persegi tak mau pergi. Tak tahan, aku ambil palu untuk kutumbuk gula sialan itu. Ah,dia masi bertahan ternyata. Anehnya, aku masi enggan beralih ke gula pasir meski gula batu itu enggan pecah.

Lalu timbullah ide, mungkin sebaiknya  aku panaskan saja kopi ini. Bukankah, panas akan melepuhkan gula sekeras batu itu? Lalu kutuang ia pada wadah stainless steel, kupanasi dan kutunggui hingga panas didih. Dengan harap cemas, kuceburkan gula batu. Kuaduk-aduk ia, tapi tak kunjung pula larut hingga kepul asap enyah. Gula batu tetaplah gula batu. Aish!

Esoknya aku tanya Ayah perihal gula batu itu,
“Ayah, darimana Ayah dapat gula batu di dapur itu?”
“Ayah beli dari seorang Ibu-ibu tua di pasar kelurahan.” Si ayah mendongak dari  balik koran pagi sembari menekuk sedikit tubuh koran itu
“Keras sekali! Aku tidak bisa melarutkannya!”
“Oh ya? Kalau begitu pakai saja gula pasir”
“Aku tak mau Ayah… Aku ingin gula batu. Lebih enak gula batu.”
“Dan kalau begitu kau harus berjerih payah melarutkannya.”

Aku pun pergi dengan dengus kesal. Ditujunya dapur, sekali lagi aku ingin melarutkan gula batu itu. Namun, entah mengapa gula batu menjadi sedemikian batunya. Kenapa substansi ini begitu idealisnya berubah bentuk? Kemudian karena tak tahan lagi, aku pun minum kopi dengan gula pasir.

Pengalaman Pertama Berhadapan dengan Orang Mabuk

Aku sedikit tercenung ketika namaku disebut “Nah, ini Anggia juga.” Tubuhku selama sepersekian detik membatu. Kemudian kembali dinamis, dengan berucap “Ada apa ya, Mas?”
Darisitulah ceramah dengan pola mbulet bermula. Aku hampir tak bisa menangkap maksud yang dia utarakan. Intinya, aku harus jaga diri, jangan terlalu sering pulang malam, dan jangan terpengaruh dengan dua kawanku diatas. N dan A. Ya, aku memang pulang malam karna rapat yang berlangsung hingga larut, walau begitu kuusahakan agar jam 10.00 aku pulang (kosan tutup jam segitu). Dan soal pengaruh buruk dari dua kawanku, aku sempat bingung. Bagiku, mereka adalah teman yang baik. 

Meski cerewet dan gokil tapi mereka tak pernah sekalipun memberi pengaruh buruk. Dan CK (penjaga kosku—pemilik kosku bermukim di luar kota), menyebut-nyebut nama mereka berkali-kali layaknya tersangka utama dalam sebuah kejahatan keji. Sambil menyebut, ras “Si batak itu!”, dia bersungut-sungut. Dalam hati, aku membenci perbuatannya, marah tidak harus rasis, Bung!

Tiba-tiba istri CK datang untuk menyuruh pulang. Tapi CK malah mengusir istrinya “Turu kone! mule! mule!” Melihat kondisi sang suami yang pitamnya naik dan tak beres, si istri hanya bisa mengangguk dan pergi.

Ceramah keeps going on. aku pun hanya bisa mengangguk-ngangguk saja, pura-pura mengamini, tanpa berusaha menelan. Aku yang biasanya sedikit rebel, memilih abstain untuk bertindak frontal—karena aku tahu ada yang tak beres dalam dirinya.

Bau mulutnya menguarkan bau asing. Dan itu bukan bau rokok (meskipun saat itu ia tengah mengisap rokok). Bau itu begitu kental tercium tiap dia berkata-kata. Aku berusaha menerka-nerka bau apa gerangan. Namun gagal.

Tak hanya bau mulut. Namun juga tatapan. Tatapannya tajam, matanya sedikit merah. Sekilas aku takut menatapnya terlalu lama. Belum lagi, dalam bicaranya dia sering menyisipinya dengan tepukan pada lenganku disertai elusan singkat. Jujur aku risih. Walau begitu aku tak bisa menghindar, karna khawatir dia akan tersinggung.

Ceramah dengan omongan tak jelas, penuh bumbu dan sedikit tipu-tipu itu berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Aku sudah lelah berdiri, meski begitu kupaksakan untuk kuat. Walau, aku berbohong ingin mengerjakan tugas, ceramah tetap lanjut. Aku sampai bosan, kupingku karatan. Akhirnya, anak pemilik kosan, berusaha memberi pengertian agar aku dibiarkan mengerjakan tugas sekaligus istirahat.

Saat dia telah pergi, maka aku pun bertanya mengapa CK jadi demikian kepada anak pemilik kosan. “Iya, dia habis minum, mangkanya kayak gitu.” Aku pun mengangguk mafhum dengan tatapan ngeri. Orang yang seharusnya menjaga kami ternyata seorang pemabuk! (Ya, Tuhan. Lindungi kami.)
Beberapa menit kemudian, CK kembali. Dia ingin melabrak N. Aku dan anak pemilik kos pun berusaha memberi pengertian agar hal tersebut urung dilakukan. Namun, CK  (karna dia mabuk), bersikukuh. Kami pun terus berkata “Sudah, besok saja, Mas. N pasti sudah tidur. Nggak enak juga. Besok saja.”

Dan, Alhamdulillah, CK pergi. Dan, aku merasa aman kembali.

Dan barusan. Barusan saja. Aku sempat merenung. Tentang istri dan anaknya. Betapa malang nasib mereka. Seorang ayah yang seharusnya memberi contoh baik dan mengayomi justru mabuk-mabukkan. Bagaimana nasib mereka kedepan?

Langit itu...


Alkisah, suatu ketika beberapa orang ditanyakan tentang warna langit. Beberapa berkata biru, dan inilah yang mendapat suara terbanyak. Namun beberapa menjawab hitam, kelabu, dan orange. Si kubu biru tercengang dan dengan pandangan menentang ingin membantah, bagi mereka langit itu harus dikatakan biru, karna begitulah sebagian besar menyebutnya—seperti terlihat pada gambar, sisipan nama warna (biru langit), dan lain-lain. Si kubu hitam tentu mencoba bertahan, bagi mereka langit itu hitam, karena ketika kita keluar dari bumi justru warna hitamlah yang dominan. Dan bukankah, dengan latar hitam cerlang benda-benda cerah lebih menawan?

Tak sampai disitu, kubu kelabu pun turut memberi pemaparan. Bagi mereka langit itu kelabu, karna kelabu pertanda salah satu anugrah Tuhan bakal turun. Hujan. Dan langit saat kelabu selalu membawa keteduhan dan keadaan saat cerah dan gelap imbang—tak saling menindih, semuanya tampil dengan gradasi yang apik.

Dan kubu orange, pun tak tinggal diam, bagi mereka langit itu seharusnya dikatakan orange, karena ketika langit sedang orange; pertanda bahwa babak baru akan segera dimulai: pagi ataupun malam. Dengan kata lain, orange adalah induk dari mereka berdua. Dan bukankah (juga) saat orange itu kelabu juga ikut andil? Bisa dibilang orange lah yang hanya bisa mengakomodir kehadiran semua warna-warna itu.

Syahdan, semuanya sibuk bergumul mempertahankan pendapatnya masing-masing. Suara-suara ambigu, masai, timbul-tenggelam, sehingga tak bayan apa yang mereka katakan. Semua bertahan. Semua berbicara. Sementara langit tetap saja seperti itu. Tak peduli pada orang-orang dengan urat tenggorokan yang makin kejang.