Di bait awal hari aku cemplungkan gula batu pada
kopi dingin yang terlanjur pekat. Kuaduk hingga tanganku pegal tapi tak juga
larut. Gula batu itu tetap saja persegi tak mau pergi. Tak tahan, aku ambil
palu untuk kutumbuk gula sialan itu. Ah,dia masi bertahan ternyata. Anehnya,
aku masi enggan beralih ke gula pasir meski gula batu itu enggan pecah.
Lalu timbullah ide, mungkin sebaiknya aku panaskan saja kopi ini. Bukankah, panas
akan melepuhkan gula sekeras batu itu? Lalu kutuang ia pada wadah stainless
steel, kupanasi dan kutunggui hingga panas didih. Dengan harap cemas, kuceburkan
gula batu. Kuaduk-aduk ia, tapi tak kunjung pula larut hingga kepul asap enyah.
Gula batu tetaplah gula batu. Aish!
Esoknya aku tanya Ayah perihal gula batu itu,
“Ayah, darimana Ayah dapat gula batu di dapur itu?”
“Ayah beli dari seorang Ibu-ibu tua di pasar kelurahan.” Si ayah mendongak dari balik koran pagi sembari menekuk sedikit tubuh koran itu
“Keras sekali! Aku tidak bisa melarutkannya!”
“Oh ya? Kalau begitu pakai saja gula pasir”
“Aku tak mau Ayah… Aku ingin gula batu. Lebih enak gula batu.”
“Dan kalau begitu kau harus berjerih payah melarutkannya.”
“Ayah, darimana Ayah dapat gula batu di dapur itu?”
“Ayah beli dari seorang Ibu-ibu tua di pasar kelurahan.” Si ayah mendongak dari balik koran pagi sembari menekuk sedikit tubuh koran itu
“Keras sekali! Aku tidak bisa melarutkannya!”
“Oh ya? Kalau begitu pakai saja gula pasir”
“Aku tak mau Ayah… Aku ingin gula batu. Lebih enak gula batu.”
“Dan kalau begitu kau harus berjerih payah melarutkannya.”
Aku pun pergi dengan dengus kesal. Ditujunya dapur,
sekali lagi aku ingin melarutkan gula batu itu. Namun, entah mengapa gula batu
menjadi sedemikian batunya. Kenapa substansi ini begitu idealisnya berubah
bentuk? Kemudian karena tak tahan lagi, aku pun minum kopi dengan gula pasir.