“So, tell me you love me. If you don’t then lie…oh, lie to me.”
Penggalan lirik diatas jika dilihat sekilas, memang terkesan egois. Ada kesan tidak menerima—yang disekresikan lewat permohonan “…Lie…oh, lie to me.” Namun, jika kamu renungkan lebih dalam sebenarnya penggalan lirik diatas adalah sebuah bentuk dari ungkapan jujur tanpa kemunafikan dari seorang pecinta yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Meski banyak pecinta yang bernaung dalam panji klise
“Cinta tak harus memiliki,” namun yakinlah, jika kau bertanya padanya dengan
meminta jawaban jujur, maka kamu kan dapati sebuah harapan (terlepas dari
betapa hampa harapan tersebut), mereka pasti akan menjawab bahwa sebenarnya
mereka ingin cintanya terbalas. Ya. Ter-ba-las. Karna cinta bukan hanya memberi
kasih, tapi juga mendapat kembali kasih, sebuah pertalian, hubungan
timbal-balik yang membutuhkan kontak fisik.
“So,
tell me you love me. If you don’t then lie…oh, lie to me.”
Berbohong memang bukanlah jawaban, namun berbohong
bisa jadi pelampiasan bagi mereka yang cintanya tak bersambut. Meminta
berbohong bukan berarti tak menghormati orang yang mereka cintai, namun lebih
kepada sebuah “last wish” yang setidaknya bisa menjadi efek anastesi sejenak. Sebuah
rangkaian apik kalimat “I love you” yang keluar dari bibir sang kekasih adalah
anastesi tak terperi, yang membuat para pecinta melesat ke langit—tak peduli
bohong atau tidak. Sensasi itu kadang lebih penting.
“But
one last time tell me you love me”
“Call
it true…true love”
Dan barangkali hanya cinta sejati (dimata pecinta), yang membuat
para pecinta melakukan “cara terkeji sekaligus manis” tadi.
Merenung tentang arti lagu ini membuat saya berpikir
untuk membaiat lagu ini sebagai lagu tersedih dalam Ghost Stories.
-Ditulis pada suatu malam menjelang pagi dengan iringan Ghost Stories.