Jumat, 29 Agustus 2014

“So, tell me you love me. If you don’t then lie..oh, lie to me.” -True love- Coldplay



“So, tell me you love me. If you don’t then lie…oh, lie to me.”

Penggalan lirik diatas jika dilihat sekilas, memang terkesan egois. Ada kesan tidak menerima—yang disekresikan lewat permohonan “…Lie…oh, lie to me.” Namun, jika kamu  renungkan lebih dalam sebenarnya penggalan lirik diatas adalah sebuah bentuk dari ungkapan jujur tanpa kemunafikan  dari seorang pecinta yang cintanya bertepuk sebelah tangan.


Meski banyak pecinta yang bernaung dalam panji klise “Cinta tak harus memiliki,” namun yakinlah, jika kau bertanya padanya dengan meminta jawaban jujur, maka kamu kan dapati sebuah harapan (terlepas dari betapa hampa harapan tersebut), mereka pasti akan menjawab bahwa sebenarnya mereka ingin cintanya terbalas. Ya. Ter-ba-las. Karna cinta bukan hanya memberi kasih, tapi juga mendapat kembali kasih, sebuah pertalian, hubungan timbal-balik yang membutuhkan kontak fisik.

“So, tell me you love me. If you don’t then lie…oh, lie to me.”

Memohon untuk dicintai, meski harus berbohong adalah sebuah bentuk keputusasaan dan rekaan harapan yang meski mereka tahu itu semu, namun sangat berarti. Sebuah keadaan psikologis terdalam dari kaum pecinta bertepuk sebelah tangan untuk mendapat kasih dari orang yang dicintai.

“So, tell me you love me. If you don’t then lie…oh, lie to me.” 



Berbohong memang bukanlah jawaban, namun berbohong bisa jadi pelampiasan bagi mereka yang cintanya tak bersambut. Meminta berbohong bukan berarti tak menghormati orang yang mereka cintai, namun lebih kepada sebuah “last wish” yang setidaknya bisa menjadi efek anastesi sejenak. Sebuah rangkaian apik kalimat “I love you” yang keluar dari bibir sang kekasih adalah anastesi tak terperi, yang membuat para pecinta melesat ke langit—tak peduli bohong atau tidak. Sensasi itu kadang lebih penting.

“But one last time tell me you love me”


“Call it true…true love”

Dan barangkali hanya cinta sejati (dimata pecinta), yang membuat para pecinta melakukan “cara terkeji sekaligus  manis” tadi.

Merenung tentang arti lagu ini membuat saya berpikir untuk membaiat lagu ini sebagai lagu tersedih dalam Ghost Stories.


-Ditulis pada suatu malam menjelang pagi dengan iringan Ghost Stories.

Kamis, 28 Agustus 2014

21:21




Konon ketika kau melihat jam dengan angka yang sama, itu adalah pertanda bahwa ada orang yang tengah merindukanmu. Aku tersenyum dengan mitos itu--kadang asyik juga berfantasi,dan mereka-reka siapakah orang yang sedang merindukan kita. Dan kaum jomblo umumnya menyukai ini. Seperti yang dialami temanku. Dia setengah memekik ketika melihat jam digital di hapenya menandakan waktu: 21:21. “Wah, 21:21! Ada yang kangen nih!” ucapnya bahagia. Aku tersenyum geli. Ya, temanku adalah seorang jomblo. Sedikit miris sebenaranya melihat ekspresi dia yang begitu girang hanya karna sebuah mitos yang tak jelas juntrung dan ujungnya. Ekspresinya adalah tak lain sebuah refleksi dari dia yang tak punya sosok jelas akan siapa yang merindukannya—ya karna dia jomblo. Ketidakjelasan sosok itu, membuatnya mereka-reka tentang siapa gerangan orang yang merindukkan dia—sebuah upaya untuk membangun figur akan seseorang yang mencintainya. Tak seperti mereka yang berpasangan, yang telah punya sosok jelas tentang orang yang memanah rindu pada mereka (meski dijumpai dalam beberapa kasus, tak semua pacar merindukan pasangannya, namun setidaknya para kaum ‘taken’ ini telah mempunya rujukan utama).
Aku merasa miris. Tidak hanya kepada temanku, tapi juga diriku sendiri.
“Aku kasihan sama Mbak ***I*.”
“Kenapa?”
“Karna dia berusaha membangun sosok yang merindukan dia.”
“Emang kenapa?”
“Itu artinya dia tidak punya sosok itu—karna dia jomblo.”
“Lha, kamu?”
“Iya sih. Mangkanya aku juga kasihan sebenarnya sama diriku sendiri.”

Senin, 25 Agustus 2014

I’m Not That Cold!



Seringkali ketika bertemu dengaku orang akan berpikiran bahwa aku adalah orang yang dingin, misterius, dan tak senang bergaul. “Haha”, begitulah reaksiku ketika mendengar seseorang berkata begitu. Ya, aku memang dingin. Tapi itu jika aku merasa aku tak nyaman dengan lingkunganku berada, atau memang ak sedang ingin berbicara—sehingga dampaknya adalah label misterius yang lucunya tertempel pada orang macam aku. Bukan karena aku stay cool, bukan! bukan!. Andai kamu tahu, aku sebenarnya ingin menjadi pribadi yang lumer, yang bisa melebur dengan hangat. Namun, it’s not me!

Jika aku sedang merasa nyaman dan ingin ngoceh, maka aku akan sebegitu cerewetnya, hingga aku sendiri bingung mengapa aku demikian ramenya. Kadang aku berpikir, aku ini permen Dinamite, pedas dan dingin diluar, namun manis dan lembut di dalam. Aku paradox. Ada dua kepribadian yang berlawanan hidup dalam diriku. Keduanya saling berdamai, dan mengisi, meski sangat kontradikitif.

Lalu, kapan kamu akan mengenalku yang sebenarnya? Nanti. Butuh waktu yang cukup lama. Kamu butuh menelisik tiap lapisan, karena mengenalku itu bagai lapisan bumi, kamu tak akan pernah tahu kejutan apa yang tersembunyi di dalamnya. Is that something hot or precious?