Kamis, 20 Juni 2013

Odong-Odong di Kotaku : Sempat Menjadi Pelestari Lagu Anak-anak

Awalnya saya hampir bangga sama Odong-odong karna merekalah pelestari musik anak-anak yang tersisa, diantara maraknya lagu anak-anak yg ga bener! cinta-cintaan, pacaran, pdahal sunat aja belum tentu uda! Dan mereka juga saya yakin ga ngerti tentang cinta itu kayak apa.

 Ketika c*b*y ju*ni** dengan lagu ga masuk akalnya (ga masuk akal jka ditengok dari sisi dunia anak) digandrungi anak-anak, ABG ABG bau kencur, tp Odong-odong justru hadir dengan inovasi baru yaitu melestarikan lagu anak-anak lewat tumpangan unyu yang bentuknya berupa rupa. 

Namun, ketika saya pulang kampung barusan, saya sedikit terkejut, karna ternyata Odong-odong yang saya banggakan itu ternyata memutar musik dangdut KOPLO ! Iya dangdut koplo! padahal saya tahu penumpang-penumpangnya itu adalah anak-anak yang kalo ingus aja masi minta dilapin sama Emaknya! *Oh, tidak!*
 

Padahal tahu sendiri kan liriknya lagu-lagi dangdut koplo itu gimana? semacam GJ GJ gitu. Disini saya ga bermaksud buat merendahkan genre musik Dangdut Koplo tapi yg saya soroti adalah isi/lirik dari genre tsb.
Odong-odong sekarang nich yang ada di kotaku, Sumenep, uda jarang yang muterin lagu anak-anak, kebanyakan kalo ga lagu dangdut, marawis, barat atau musik-musik house/disko yg editannya GJ. Okelah kalo marawis, isinya masi bagus, kalo barat ya mereka kan ga ngerti artinya jadi amanlah, atau sapa tahu pas pulang dari naik odong-odong si anak-anak bermental unyu tsb malah cas cis cus ngomong Inggris *mimpi kali yee*. Malah ni ya, sempet kaget juga pas lewat TB terus ada satu odong-odong yg muterin lagunya One Direction "What makes u beautiful" gilee! sempet mikir "Gila nih abang odong2! keren juga seleranya" hahah *Abang odong2 juga berhak kece*  hahaha
 


Belajar dari Kancil Beruang 3 Kaki

 7 Juni 2013
Hari ini aku belajar dari Beruang berkaki 3 bernama Kancil. Disebuah tayangan Belantara yang ditayangkan di Kompas Tv, si Kancil awalnya dimusuhi kawan-kawannya sesama beruang karena ia berbeda. Kancil pun awalnya sering kalah dalam perebutan makanan, namun seiring berjalannya waktu dia pun bisa beradaptasi. Alhasil, Kancil pun dapat menang dalam perebutan makanan, dan jika harus berkelahi, Kancil pun kini selalu menang. Wah, so sweet sekali itu beruang, mengubah keterbatasan menjadi keberanian. Yuk, belajar dari si Kancil :D

REFLEKSI MAGANG SIAR 16 JUNI 2013


Kemarin disebuah pertemuan organisasi yang saya ikuti sempat mencuat pertanyaan “kenapa jika polisi memukuli warga maka itu dipermasalahkan namun mengapa jika warga yang memukuli polisi itu tidak dipermasalahkan. Padahal memang si warga salah dan keduanya toh juga sama-sama melanggar HAM.”

Pertanyaan diatas sebenarnya adalah logika terbalik yang memang menarik untuk ditanyakan. Polisi sebagai sebuah jabatan yang mengampu label pengayom dan penjaga keaman serta ketertiban masyarakat  tentu saja diharapkan bisa memebri contoh yang baik kepada masyarakat. Tindakan polisi yang sedikit saja melanggar hukum akan langsung disoroti lebih oleh masyarakat dibanding masyarakat itu sendiri yang melakukan hal serupa. Mereka (polisi) terjebak dalam sebuah istilah yang saya sebut  ‘lingkaran label’. Sebuah posisi apapun di masyarakat pastinya mengusung label masing-masing, seperti guru sebagai pendidik,  dokter sebagai penyelamat jiwa, ustad sebagai pemberi tausyiah dan mengerti banyak soal agama, dan posisi lainnya. Posisi-posisi tersebut tanpa kita sadari telah membentuk suatu ‘label’ tersendiri dalam hubungan sosial.

Polisi sebagai pengayom, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat akan dianggap ‘kafir’ jika ia mengkhianati label yang selama ini mereka usung, misalnya dengan melakukan pemukulan pada mahasiswa yang misalnya sedang melakukan unjuk rasa, meski mahasiswa tersebut memang bersalah. Tentu akan timbul sebuah pertanyaan ironi dalam masyarakat “katanya pengayom masyarakat, tapi kok ya mukulin warganya?”

Kata-kata ironi seperti inilah yang secara alamiah timbul dalam tatanan sosial kita. Sebaliknya, jika mahasiswa yang melakukan pemukulan pada aparat keamanan, dalam hal ini polisi, maka hal tersebut dianggap biasa-biasa saja atau mungkin dianggap buruk namun dengan kadar keburukan yang tidak seberapa dibanding jika malah polisi yang melakukannya. Kenapa? Karena dalam masyarakat, mahasiswa mendapat label sebagai kaum pelajar, vokal, energik, dan suka demo. Disini, mahasiswa, tidak memegang label sebagai “pengayom masyarakat”. Maka pantas saja, dimana-dimana jika polisi yang mukul mahasiswa, polisi yang dicap salah bahkan arogan, sedangkan jika mahasiswa memukul polisi maka itu dianggap biasa saja.

Hal sama bisa kita analogikan pada posisi-posisi lain dengan label yang berbeda-beda. Seorang guru atau dosen misalnya yang bolos mengajar, pasti akan dianggap sangat keterlaluan karena hal itu dianggap telah mencederai ‘label’ guru atau dosen sebagai pendidik yang dituntut untuk memberi contoh yang baik pada siswa maupun mahasiswa yang dididiknya. Namun jika, siswa atau mahasiswa yang bolos maka itu dianggap biasa saja.
Contoh lainnya yaitu ustad, jika seorang ustad, misal saja ustad muda pacaran maka tindakan itu akan dibaiat sebagai perbuatan tak etis oleh masyarakat. Sebaliknya, jika muslim biasa seperti kita yang pacaran maka hal itu diangggap wajar-wajar saja. Padahal dalam islam pacaran itu ya haram (oops, maaf bagi muslim yang pacaran tidak bermaksud untuk menghakimi kalian J )

Kawan, pada dasarnya kita semua berada pada ‘lingkaran label’, apa yang kita perbuat akan selalu disangkut pautkan dengan label yang kita punya. Beberapa dari kita mungkin tidak menyadari akan fenomen pelabelan ini, ya mau bagaimana lagi, inilah kehidupan sosial, dimana tidak semua tertulis, justru yang tidak tertulis itulah yang kadang lebih bahaya dan perlu diwaspadai karena bentuknya yang metafisik dan relatif.