Selasa, 31 Desember 2013

Kembang Langit untuk Delta: Endapan-endapan Rinduku yang Enggan Larut dan Segitiganya Kita


Namaku Himmelda Andisti. Aku biasa dipanggil “Disti” atau “Dis”. Aku adalah pecinta bintang. Di sekolah, aku dan lima teman-temanku yang lain membentuk sebuah klub bernama Star Admirer, yang anggotanya adalah kami sendiri para pengagum bintang, meski kami bukanlah ahli astronomi. Agenda dari klub ini adalah memburu tempat-tempat dengan pemandangan langit spektakuler dan nongkrong-nongkrong nggak jelas dengan topik bicara seadanya. Intinya klub ini adalah klub yang menjembatani kita untuk mempererat tali silaturahim yang sebenarnya sudah terlampaui erat.

Malam tahun baru adalah malam yang sangat spesial bagi kami semua karena di malam itu kami akan berkumpul di tempat favorit kami, yaitu Bukit Bintang untuk menikmati pergantian malam tahun baru dan mengucap resolusi bersama di salah satu titik tertinggi di Jogja. Aku, Mifta, Denim, Cuprit dan Alice, bersama-sama menikmati gemerlap puluhan bahkan hampir ratusan kembang api meletup-letup di langit seperti percikan warna-warni yang riuh senang. Aku menyebutnya kembang langit. Teman-temanku banyak yang kurang setuju dengan sebutan itu, bagi mereka, kembang api tetaplah kembang api, tak perlu dirubah menjadi kembang langit. Namun, aku berdalih, bahwa kembang langit akan menambah unsur estetika kembang api dari segi bahasa. Mereka hanya tergelak dengan tawa tertahan, lalu salah satu dari mereka malah berkata, “Aku lebih suka kembang loyang, Dis! Estetika dapet, kenyangnya dapet.” Tawapun pecah

Semenjak beberapa bulan lalu kami punya anggota bayangan, namanya Delta, sepupunya Mifta yang baru pindah sekolah dari Tangerang. Delta, hadir hanya saat kami merayakan malam tahun baru saja karena dia adalah orang yang sangat sibuk.
***
Tahun baru 2005
Malam itu langit Jogja tampil dengan kondisi prima, tak ada mendung, dan tak hujan. Langit tampak bak bentangan maha luas beludru hitam dengan berlian-berlian yang bertaburan di permukaannya. Dari sini, langit dan bumi seperti membangun kerja sama apik untuk menjadikan malam tahun baru ini begitu sumringah dan meriah. Dari bawah lampu-lampu gemerlapan dengan genit meminta perhatian. Sinarnya bulat-bulat dengan tempias udara yang membuatnya kadang bergoyang-goyang. Lampu-lampu itu berbaris membentuk noktah-noktah tak beraturan.

Meski kawasan ini lumayan sering kami kunjungi, namun kami tak kunjung bosan untuk mengagumi tempat ini, dimana dua langit bertemu: langit bawah dengan lampu-lampu sebagai bintangnya dan langit atas dengan bintang sungguhan.

Guys, jagung!” teriak Delta yang saat ini sedang menuju kami dengan setumpuk jagung diatas talam. Kawan-kawanku bersorak, sedangkan aku, hanya bisa menarik nafas panjang. Orang itu, batinku.

“Dis, nggak mau jagung? Masih hangat pul lho! Hangat mengepul-ngepul, heemm…” Goda Cuprit membaui jagungya yang beraoma keju. Mungkin baginya, aneh melihat diriku yang anteng ayem seperti ini sementara yang lainnya beringas mencomoti biji-biji jagung, mengingat dari rumah perut kami memang belum tersentuh makan malam.

“Iya, duluan aja, aku belum begitu lapar kok!” dustaku

 “Wuih, kuat banget! Itu perut super juga ya! Haha” jawab Cuprit

 “Woi, lo kenapa Dis? Perut lo lemah syahwat?” timpal Mifta temanku yang berasal dari Depok.

Aku hanya tersenyum saja, meski kuakui daritadi perut ini sudah mengkerut-kerut minta tumbal.
  

“Ini, makan. “ Sesosok suara maskulin yang kukenal terdengar dari sampingku. Delta!

“Hah? Oh, iya… Kamu makan aja dulu.”

I have mine. Ini buat kamu. Kita semua kan belum makan malam.” balasnya sambil tersenyum

Aku bingung. Entahlah aku ingin mengatakan sesuatu, namun lidahku tiba-tiba seperti menempel di langit-langit mulut dan enggan lepas. Aku hanya bisa menunduk, lalu tanpa melihat wajahnya, aku menyambar jagung itu yang tanpa kusadari telah habis dalam waktu kurang dari lima menit.

“Makasih” ucapku. Delta hanya mengerutkan alisnya, jelas sekali ada rona bingung dan terkejut dari wajahnya. “Oh, maaf telat!”, lanjutku malu.

“Buh…Buahaha, kamu cepet banget makannya! Aku kira kamu belum lapar! Hayo, kamu bohong ya?” tatapan matanya penuh selidik ke arahku, ais! mata elang itu lagi! teriakku dalam batin.

“Hah? E…enggak… kok!” jawabku terbata-bata. Delta hanya bisa menatapku, bibirnya yang tipis mengkerucut ke depan. Lalu pelan-pelan dia tersenyum tipis. Aku masih menatapnya. Sedetik kemudian otakku buntu, jantungku kurang oksigen akibat bekerja terlalu berlebihan memompa darah. Untuk mengatasi suasana genting itu, kukeluarkan jurus ampuh yang telah teruji selama berpuluh-puluh tahun disituasi kembar seperti ini, yaitu: kuangkat sauh tatapanku dari objek. Untungnya, saat itu kembang langit telah unjuk gigi di langit, aku pun berkata “ Hei, lihat!”, Delta menoleh ke langit, tempias cahaya kembang langit terlukis di kacamatanya. Mulutnya sedikit menganga kemudian tersenyum lebar. Saat itu, jujur aku bingung, entah kembang langit yang harus kulihat, ataukah Delta yang untuk pertama kalinya berada sedekat ini denganku.

Entahlah darimana rasa ini mulai bercerita, yang kutahu tiba-tiba saja semuanya berbeda. Orang itu datang ke kehidupanku bersamaan dengan hari ulang tahunku. Saat itu Mifta membawa seseorang berambut sedikit gondrong, kurus, dan berkacamata, namun berkharisma. Mifta memperkenal orang itu sebagai Delta, sepupunya dari Tangerang yang pindah ke Jogja karena orang tuanya pindah bertugas ke kota ini.  Delta sekolah di sekolah unggulan  nomor satu di kota ini. Sedangkan kami bersekolah di sekolah unggulan nomor tiga. Delta juga adalah satu-satunya di Star Admirer yang bisa mengalahkan kesibukan Alice. Aku kira, Alice sudah super sibuk dengan sekolah dan modelnya, eh, ternyata ada orang yang lebih sibuk dari dia.

Kesan pertama yang kudapat dari orang ini adalah dia itu cuek. Dan memang demikian adanya. Delta tak terlalu banyak bicara, tak seperti sepupunya yang pecicilan. Dia hanya akan bicara di saat yang dibutuhkan, dan memberi tanggapan dengan teori-teorinya yang sedikit melenting dari biasanya, namun menurutku brilian. Contohnya, acara malam tahun baru tahun 2004 saat itu kami berdebat soal bintang favorit kami, kebanyakan dari kami menyebutkan Sirius, Canopus ataupun Arcturus, karena memang bintang-bintang itulah yang cahanya paling cemerlang di langit.  Namun ketika Delta ditanya soal bintang favoritnya, dia malah menjawab “Bintang redup,” sontak kami semua saling menatap bingung. Lalu, Delta melanjutkan “Sebagian dari kalian sibuk mengagumi bintang-bintang paling cemerlang di langit, tanpa coba melihat sepintas pada mereka bintang-bintang redup. Aku suka bintang yang redup karena bagiku dia misterius. Perlu teropong bintang super canggih dengan lensa berlapis-lapis untuk sekedar menikmatinya dengan jelas. Sementara bintang-bintang yang cemerlang itu, tak perlu banyak usaha untuk menyaksikan kemilaunya, karena mereka sudah cukup terlihat dari bumi. Aku percaya, bintang yang redup, meskipun letaknya super jauh dari sini, dan cahayanya begitu terlihat rapuh dari sini, bisa jadi  dia punya kekuatan yang sama atau malah lebih besar dari mereka yang cemerlang dari sini.”

Untuk beberapa saat kami larut dalam penjelasan Delta. Teorinya soal bintang redup, sungguh memukau. Ah, filosofis sekali bukan? Delta, Delta… Begitu mudahnya bagimu memutar balikkan nalar kami. Kemudian aku dan kawan-kawanku pun mengangguk-ngangguk, masih menatap ke arah Delta, terutama Alice yang saat itu dengan gamblang menampakkan kekagumannya yang luar biasa pada Delta.  Dan aku saat itu, meskipun terlihat biasa saja namun sebenarnya hatiku bergejolak hebat karena berusaha keras untuk tidak larut dalam buaian.
***
            Malam tahun baru 2006. Entahlah, mungkin ini yang dinamakan cemburu. Delta dan Alice terlihat intim dalam obrolan yang mereka balut bersama. Sesekali gelak tawa terdengar dari keduanya. Merangsang Denim, Cuprit dan Mifta untuk berkasak-kusuk ria, tentang hubungan keduanya. Dalam persepsi mereka, Alice dan Delta pastilah sedang dibelai asmara. Mereka pun terkikik riang ketika membayangkan jika keduanya jadian.
            
                 “Alice dan Delta. Wah, pasangan serasi ya mereka! Yang satunya kece, berkharisma, pinter lagi, yang satunya model, cantik, dan pintar juga. Ah, klop dah!” semuanya mengangguk-ngangguk dengan seringai lebar. Aku pun berupaya sekuat tenaga untuk tersenyum, berpura-pura bahagia meski hatiku ngilu. Tak tahan aku pun menghindari mereka, pergi menjauh dengan alasan ingin jalan-jalan.
             
               Sepertinya ada yang akan luruh di mataku, sesuatu yang hangat. Entahlah, sebenarnya apa yang kurisaukan? Bukankah teman-temanku benar, mereka itu serasi! Dan daripada aku tentulah Alice lebih pantas bersanding dengan Delta. Daripada aku? Aku hanyalah wanita biasa. Entahlah, apa aku sanggup untuk memukau Delta. Itu dia! aku harus jadikan diriku pantas untuknya! Delta, tunggu aku!
           “Hei,” suara yang kukenal, dan  itu membuat jantungku berdegup kencang. Aku menoleh sembari berusaha tersenyum meski kutahu sepertinya senyumku akan kaku.
           
               “Hai,”
            
               “Kamu ngapain disini, Dis?”
          
               “Oh, aku hanya cari udara segar?”
            
             “Memangnya, udara disini nggak semuanya segar ya? Berarti ada spot-spot sendiri dong yang nyediain udara segar?”
            
                 “Hah? Oh, nggak maksudku… Itu, ehm… Aku sepertinya nggak enak badan, masuk angin barangkali. Mangkanya aku kesini”  Duh, bego! kok nggak nyambung gini sih jawabanku? Kalo masuk angin kenapa aku malah keluar dari warung? Duh, Disti….! Control yourself!
            
              “Hahah…Kamu aneh! Ehm, nih obat masuk angin. Cuma ini yang aku punya.”
             
              “Oh, makasih.” ujarku sambil mengambil sebuah obat cair masuk anginnya, kutatap matanya sejenak kemudian seperti biasa kubuang pandanganku pada yang lainnya. “Del, Alice kemana?”

            “Oh, dia lagi gabung sama yang lainnya”

           “Terus kamu ngapain kesini?”

          “Ya…kan aku lagi masuk angin, hehe,”Wajahku bersemu merah, Delta! Tolong jangan buat aku mati gaya sekarang!
           
                  Saat jam 00.00 tepat, lolongan terompet terdengar mendayu-dayu, silih berganti, dengan oktaf yang tak karuan, seenak hembus nafas mereka bisa meniupnya. Kami merangkul bahu masing-masing kawan kami, lalu meniup terompet dengan sekuat nafas kami. Lalu kami pun bersiap-siap untuk mengucapkan resolusi. Dan resolusiku adalah agar aku bisa lebih pantas untuknya.
***
            Aku tak tahu, ini prasangkaku saja atau bukan namun, kadang aku merasa Delta memperhatikanku diam-diam.  Entahlah, saat aku berbaring menatap bintang di halaman belakang rumahku, saat aku menyiram tanaman, saat aku berkumpul dengan Star Admirer ketika tahun baru. Anehnya, perasaan itu sering muncul, perasaan bahwa Delta sebenarnya sedang memperhatikanku.
            
                 Jujur, aku tak berharap Delta menyukaiku sekarang. Karena aku masih merasa belum pantas. Mungkin ya, menyenangkan jika Delta menyukaiku sekarang. Bukankah, sangat indah jika rasa kita berbalas? Tapi, aku tak mau rasa itu datang sebelum waktunya tepat. Maksudku aku hanya ingin membuat Delta tak menyesal memilihku. Aku ingin menjadi sebaiknya Disti dihadapan dia. Menjadi pasangan yang bisa dia banggakan dan elu-elukan.

***
            Akhir-akhir ini, Delta semakin sering bersama Alice. Kudengar dari sepupunya, Mifta kalau tiap malam minggu kini mereka sering keluar bersama, dan Mifta curiga mereka telah jadian tanpa memberitahu kami semua. Aku hancur. Tapi apanya yang salah? Bukankah mereka terlihat sempurna dan serasi satu sama lain? Bukankah lebih baik bagi Delta mendapatkan wanita yang bisa mengimbanginya, yang bisa dibanggakannya.
             
         Mifta tak henti-hentinya, bercerita tentang kedekatan-kedekatan mereka yang terjalin akhir-akhir ini, yang bagiku hanya terdengar sebagai gumaman saja karena pikiranku sudah tak utuh lagi, sebagaimana hatiku yang baru saja kehilangan salah satu kepingannya.
***
                 Tahun 2006 tak terasa sudah diujung tanduk, sebentar lagi dia akan lengser digantikan oleh tahun 2007. Seperti biasa, acara seremonial pergantian tahun klub kami akan diadakan di tempat yang sama di Bukit Bintang, Gunung Kidul. Acara pergantian tahun baru kali ini kata teman-temanku akan menjadi malam pergantian terspektakuler karena akan ada acara peluncuran kembang api terbanyak se-Indonesia yang akan dilaksanakan di Alun-alun dan dimaktubkan di museum rekor Indonesia. Dan kami akan bisa menyaksikannya di bukit ini. “Bayangkan! Kembang api yang meletus-letus liar di langit dengan latar bintang-bintang! Wuih, Gila!” sorak Denim yang sudah tak sabaran menanti datangnya malam.
             
              Alasan kedua, kenapa malam ini terasa begitu spektakuler adalah karena teman-temanku juga berencana akan membuat Alice dan Delta mengaku bahwa mereka jadian dengan apapun caranya, begitu kata mereka. Dengan demikian mereka akan mendapat PJ (Pajak Jadian) yang bisa jadi akan menambah kespektakuleran malam pergantian tahun baru kali ini. Alasan ketiga adalah, ini adalah malam pergantian tahun baru terakhir yang bisa kami lewati bersama, karena tahun depan kami mungkin tak lagi di kota ini, untuk kuliah. Dan itu membuatku sedih, entahlah, pergantian tahun baru tanpa Delta, dan menjalani tahun tanpa Delta, masih belum terpikirkan efek sampingnya.
            
          Saat kami berkumpul bersama di sebuah warung untuk menikmati jagung bakar dan kopi, rencana untuk membuat mereka mengaku mulai dijalankan. Aku sebenarnya begitu tak bergairah melakukannya, namun mau tak mau harus kupaksa diriku untuk ikut andil. Aku pun ikut berseloroh ciye-ciye ketika teman-temanku membuat mereka salah tingkah. Bahkan diluar dugaanku, ciye-ciye paling melengking dan nyaring dibandingkan yang lainnya. Aku bahkan ikut berargumen ketika mereka menampik tuduhan jadian itu.
           
          “Sudahlah, kalian itu saling suka! Alice, jangan mengelak! Saat Delta bercerita soal bintang redup, aku tahu tatapanmu, ya tatapanmu, yang paling dalam dan menyimpan kekaguman dibanding yang lainnya. Dan aku tahu, tiap kali Delta berkumpul dengan kita, kamu lah yang paling lama dan dalam menatap matanya. Bahkan, aku tahu hanya saat malam pergantian tahun baru ini, kamu yang biasanya duduk disebelahku, rela pindah untuk duduk disampingnya. Alice, Alice, mengakulah! Dan, kamu Delta, aku yakin kamu menyukai Alice. Alice itu cantik, foto model, dia juga pintar! Mustahil kamu tidak suka! Dia adalah cewek paling pantas buat kamu. Delta, kamu itu, kamu itu Cassanova tanpa kamu minta. Lihatlah! Ada Alice yang aku yakin suka sama kamu. Dan Delta, kami sudah tahu kalau akhir-akhir ini kalian sering pergi keluar bersama tiap malam minggu. Apa itu kalau bukan kencan, hayo?” paru-paruku kembang kempis lebih cepat, nafasku saling berkejaran. Mereka tak menyangka kalau aku sedemikian detailnya mengamati hubungan mereka. Cuprit, Denim, Mifta, menganga tak percaya. Aku juga yang sebelumnya biasanya selalu lebih kalem jika ada Delta, sekarang begitu agresifnya berargumen soal hubungan mereka.
             
             Tiba-tiba sorak-sorai membludak dari mulut Cuprit, Denim dan Mifta, ciye-ciye dan tepuk tangan mereka lebih keras. Kami mendesak Delta dan Alice mengaku segera. Alice dan Delta saling berpandangan. Kemudian Delta menarik nafasnya panjang, dan dengan satu hembusan dia berkata “Iya, kami jadian.” Sontak sorak-sorai kemenangan membuncah dari kami semua, termasuk aku yang mau tak mau harus kuat menahan ngilu hatiku yang semakin lama semakin mengoyak pertahananku. Tak kuat menahan,  maka dengan berdalih ingin buang kecil, kulesatkan langkahku menuju toilet. Disana kupuaskan air mataku mengalir. Rasanya aku ingin berteriak, tapi yang keluar hanyalah isakan, dan nafas sengal. Tapi aku harus kuat, aku tak mau mataku bengkak di hadapan mereka, malam tahun baru belum usai. Maka kucoba membasuh mukaku dan kembali menemui mereka.
            
             Saat aku kembali, mereka sedang berpesta pora menikmati PJ yang mereka dapat. Aku dengan pura-pura tertawa senang ikut menikmati jagung bakar, singkong  bakar, kopi, dan roti bakar yang mereka berikan. Aku makan dengan binal sekali saat itu.
           
         Tahun baru akhirnya tiba. Ratusan kembang langit dilecutkan dengan hampir serempak membuat langit menjelma menjadi parade kembang warna-warni. Letupan-letupan terdengar sahut menyahut, ditimpali oleh bunyi terompet memekakkan telinga. Sejenak kubisa lupakan sedihku. Lalu saat kembang langit paling besar dan tinggi meledak dilangit menjelma menjadi percikan-percikan api yang membentuk kembang yang sangat mekar, aku bersorak “Yeee! Kembang langiiit!”. Aku mematung sejenak, karena kusadari sorakanku tak sendiri. Semua teman-temanku berhenti tertawa, mereka menoleh padaku dan Delta karena kami mengucapkan Kembang langit bersama-sama. Aku menatap Delta dengan heran, dan dia hanya tersenyum konyol.
           
            “Hahaha, gue kira cuma Disti aja disini yang pake kata aneh itu. Ternyata lo juga make, Del?”
           
       “Iya, abis lucu gitu, hehe!” Delta mengacak-acak rambutnya, diiringi tawa kami yang menyembur kembali.
***

Delta
 Namaku Delta Arfano. Sejak beberapa tahun ini aku sedang menyukai seorang gadis. Gadis itu tergabung dalam sebuah klub mini yang bernama Star Admirer. Agenda grup itu adalah memburu tempat-tempat kece untuk dijadikan lahan pemuas nafsu mereka dalam mengamati bintang, dan ngobrol-ngobrol tentang apa saja.

Gadis itu menarik dan menurutku paling menarik dari yang lainnya di klub itu. Berkali-kali aku ingin mendekati dan membangun suasana intim dengannya, namun sering gagal. Walau begitu, beberapa kadang berhasil. Tiap kali aku berbicara dengannya, aku merasa makin dekat dengannya, sekaligus makin banyak tanya yang ingin kuajukan padanya. Dia itu misterius. Aku mencoba membacanya, lewat tatapan dan gerak tubuh, tapi entahlah semuanya jadi malah menggiringku pada ambigu

Kadang aku merasa bahwa dia juga sebenarnya menyukaiku, dari beberapa tatapan tajam yang tanpa sengaja kucuri. Namun, semua itu seolah pupus ketika dia bertingkah seolah menjauhiku. Tiap kali aku di dekatnya dia seperti tidak mengacuhkanku. Belum lagi setelah kutahu dari Mifta, bahwa dia biasanya bertingkah lebih cerewet dibanding ketika aku di dekatnya.  Aku pikir itu sebuah tindakan salah tingkah, namun si Mifta menjawab, “Haha… Kagak mungkin! Si Disti orangnya itu susah jatuh cinta! Lagian elo bukan tipenya! Dia lebih suka cowok yang lebih tua dan parlente getoh!”

Jadi, dia melakukan itu karena dia tidak menyukaiku? Oleh karena itu dia menjauhiku?
***

   Aku ingin dia sadar bahwa selama ini aku memperhatikannnya. Meskipun aku jarang menemuinya, namun dia tak pernah tahu bahwa diam-diam aku menyelinap lewat jendela kamarku lalu menuju balkon tengah malam, hanya untuk melihatnya  di halaman belakang rumahnya menatap langit, sambil bernyanyi dengan gitarnya. Suaranya memang tak semerdu Raisa, namun suaranya mengandung kejujuran dan kepolosan, dan aku suka. Disitu dia akan bernyanyi lagu, sebuah lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya--lagu yang sama, tentang bintang dan langit. Sebuah lagu yang tak kutemukan judulnya meski telah kumasukkan beberapa penggalan liriknya ke dalam mesin pencari google. Mungkinkah lagu ciptaanmu sendiri, untuk kekasihmu, Dis?

      Kadang pula, aku mengamatinya, sedang menyiram tanaman. Dengan rambut yang diikat sembarang, membuat beberapa helaian rambutmu yang tak terikat terlihat lengah dipermainkan angin. Dan akupun tersenyum.

     Jujur, aku sebenarnya tak menginginkan gadis ini yang menghuni hatiku. Maksudku, dari sekian banyak gadis yang mendekatiku, kenapa aku harus memilih dia? Dia tidaklah cantik, tapi entahlah aku tak bisa mengelak bahwa dia menarik. Kucoba untuk mengingkari bahwa aku tak mencintainya—bahwa ini adalah sebuah perasaan yang timbul karena diriku yang kesepian setelah berpisah dari pacarku yang terdahulu di Tangerang, dan dia hanyalah sebuah pengalih perhatian saja.

   Maka saat kawan dekatnya, Alice, mengajakku keluar untuk menemaninya melepas pilu sehabis berpisah dengan kekasihnya, kusanggupi ajakannya. Aku berharap, Alice yang notabene cantik dan memukau (menurut pendapat Mifta) dan aku pun mengamininya, adalah sebuah jalan untuk menemukan sebuah pengganti yang lebih pantas.

  Tiap kali aku bertemu Alice, kubuat diriku melupakan Disti. Kucoba mengelabui hatiku bahwa Alice lebih baik daripada Disti. Tapi yang terjadi, entahlah, aku malah dengan sengaja sering membelokkan percakapan ke seputar Disti. Setiap kali kudengar tentang Disti, daun telingaku melebar dan hatiku membumbung senang mendengar beberapa hal tentangnya, salah satunya bahwa Disti enggan menyebut kembang api dengan kembang api, melainkan dengan kembang langit, hanya karena ketika meletus di langit kembang api menyerupai kembang yang sedang mekar-mekarnya.

    “Coba kamu perhatikan detik-detik mereka meletus, seeet… Duaaarrr, gitu katanya!” jelas Alice sembari memperagakan gerakan Disti, dengan menggerakkan tangan dari bawah ke atas lalu memekarkan jari. Aku pun tertawa. Sungguh kamu memang menarik, Disti.
***

     Semakin hari, aku semakin dekat dengan Alice, dan itu membawaku lebih banyak tahu tentang Disti. Kepiluan Alice pun semakin lama, semakin pudar. Dia sekarang sudah bisa tertawa lebih sering. Aku pun senang bisa menghiburnya.

      Walau begitu,di dalam hati, aku makin merindukan Disti. Kadang ada niat dalam hatiku untuk pergi mengunjungi rumahnya atau bergabung dalam acara nongkrong-nongkrong klub Star Admirer, tapi rasa takut dia tidak akan menyukai kehadiranku terus berkecamuk. Aku tidak ingin membuatnya tak nyaman. Oleh karena itu, aku hanya bisa mengamatinya diam-diam, dan datang saat malam tahun baru saja.
***
             
                Malam tahun baru 2007, gosip berhembus bahwa aku dan Alice sudah jadian dan kami tidak memberi tahu mereka. Aku dan Alice pun berusaha menentang, karena memang tidak demikian adanya. Tapi desakan mereka untuk mengaku begitu bertubi-tubi, argumen-argumen mereka gelontorkan, dan terutama yang tak kusangka dari Disti. Dia begitu detailnya mengomentari soal hubungan kami. Aku sungguh tak menyangka jika selama ini dia sangat memperhatikan kami. Dan aku juga tidak menyangka bahwa sesungguhnya inilah yang diinginkan Disti selama ini—agar aku memadu kasih bersama Alice, sahabat paling dekatnya. Maka, demi melihat Disti bahagia, aku kabulkan permintaannya. Hari itu, dengan berat hati, kukatakan bahwa aku dan Alice berpacaran.
         
              Tak kuduga, jawabanku itu dianggap serius oleh Alice. Aku pun tak berkutik, antara menjawab iya dan tidak, kuputuskan untuk menjawab iya. Aku tak ingin membuat Alice patah hati, terlebih mematahkan keinginan Disti. Alice pun dengan senang hati menganggap aku sebagai pacarnya. Dalam relung hati, kurasakan ngilu yang amat dahsyat. Oh, Disti, andai kamu tahu betapa sakitnya hati ini.
***
             
              Malam tahun baru 2007 adalah malam tahun baru kami yang terakhir, karena setelah itu kami harus berpisah untuk menempuh pendidikan di jenjang bangku kuliah. Aku mendapat beasiswa untuk berkuliah di Inggris, dan Alice di Prancis. Sedangkan, Cuprit, Denim dan Mifta, masih berkuliah di Indonesia. Aku dan Alice masih berpacaran saat itu selama beberapa tahun kuliah disana. Kami masih sering bertemu, kadang di London, kadang di Paris. Sebelum akhirnya hubungan kami kandas, karena kecemburuan Alice, sebuah kecemburuan yang masuk akal dan benar.

Disti
            Sejak berpisahnya kami karena mengejar mimpi masing-masing, kami tak pernah lagi merayakan tahun baru bersama-sama. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing, begitupun aku. Aku merindukan mereka, terlebih kepada Delta. Delta, apa kabarmu saat ini? Tiba-tiba dadaku sesak, dan aku kesulitan bernafas. Bersamaan dengan itu bulir-bulir hangat jatuh dari bola mataku, dan semakin deras ketika kudengar beberapa bulan lalu bahwa hubungan Delta dan Alice masih bertahan, dan mereka terlihat semakin serasi. Aku mencoba berbahagia untuk mereka, dalam isakan yang mengendap-ngendap kucoba tersenyum, karena sebentar lagi Alice akan datang menemuiku. Dan, oh Tuhan! Dia makin cantik saja! Pantas saja Delta betah dengannya.
           
Alice
Setelah lima tahun tak bertemu, akhirnya aku bertemu Disti kembali. Sayang sekali tapi, si Cuprit, Mifta dan Denim berhalangan hadir karena urusan pekerjaan. Saat hendak berangkat tiba-tiba aku merasa kedinginan, dan hendak meminjam jaket Disti.
“Hei, aku pinjam jaketmu ya!” pintaku

“Oke, aku ambilin.” jawab Disti

“Nggak usah, aku bisa sendiri kok!”

“Oke,”  ujar Disti, “Oh, ya ampun, aku lupa kado buat si Susi, sekarang kan dia ulang tahun! Kamu bisa tolong ambilin nggak? Di lemari bagian atas kotak warna merah.”

No problemo,” jawabku.

Sesampainya di lemari, aku kebingungan, ada dua kotak merah disana, yang satu kecil dan satu sedikit lebih besar. Kuambil kotak yang lebih besar lalu aku membuka untuk mengeceknya. Alisku mengernyit. Sebuah bongkol jagung dan bungkus sachet jamu masuk angin berada disitu. Untuk apa Disti menyimpan semua ini? Lalu ada sebuah note, saat kubuka, sebuah tulisan menyambutku disitu

Untuk Delta, endapan-endapan rinduku yang enggan larut dan segitiganya kita.

Halaman selanjutnya, berisi percakapan-percakapan yang pernah Delta lontarkan, termasuk ucapannya soal bintang redup. Semuanya ditulis oleh Disti. Lalu kubuka lagi lembaran berikutnya, disitu foto Delta sedang menatap langit terpajang. Dari situ aku tahu bahwa Disti selama ini mencintai Delta.
Saat aku berada di ruang tamu, kuhampiri Disti. Lalu aku pun menanyakan tentang semuanya.

“Oh, makasih. Itu kotaknya. Ayo berangkat!”

“Disti, tunggu!” suaraku sedikit membentak

“Ada apa, Alice?”

“Apa maksud kamu selama ini? Kenapa selama ini kamu nggak jujur sama aku, sama kami? Kenapa kamu bohong?”

“A…apa maksud kamu, Alice?”

“Kamu selama ini cinta kan sama Delta? Ngaku!”

“A…Alice, ya, ya, tentu nggak lah! Mana mungkin aku cinta sama dia, Delta kan pacar kamu!”

“Nggak lagi, Alice! Delta sudah aku putusin karena selama ini dia nggak cinta sama aku! Dia cintanya sama kamu! Selama ini dia ngelakuin itu semua karena dia ingin memenuhi permintaan kamu, dan kasihan sama aku!”

“Ka..Kamu, Del..ta… Maksud Ka…”

“Dis, gimana aku bisa tahan pacaran sama dia kalau selama ini yang ada di pikiran dia cuma kamu! Setiap kali kami ngobrol kamu yang jadi topik utamanya! Dis, kalau kamu memang masih cinta Delta, temui dia sekarang! Sekarang dia di Solo.”

“Tapi, Alice? Aku masih belum pantas buat dia!”

You have already, Dis! Lihatlah kamu sekarang! Kamu sudah jadi dosen, dan punya yayasan sosial mengajar anak-anak jalanan, dan sebentar lagi kamu dapat beasiswa! Kurang apalagi? Dis kamu, sudah pantas." jelasku sambil memegang lengannya.  "Sekarang,  kamu temui dia, dan bawa kotak merah kamu! Go!

Buru-buru Disti menuju mobilnya setelah mendapat alamat Delta. Dan untuk pertama kalinya, meski sakit, namun aku merasa lega. Setelah menghapus air mata, kutulis pesan singkat ke nomer Delta: Bersiap-siaplah, sejaman lagi kembang langit kamu datang, Del!

Lalu ku klik send.


*Anggia Mirza

Sabtu, 19 Oktober 2013

PAULO COELHO AS A NOVELIST

This text was my last assignmet of Introduction to Literature. I am not really sure this text will be trully correct in grammar, and giving you a satisfying analysis. Nevertheless, that is my work. I am novel in this thing. So, If u've got any comments and recomendations, please feel free to share your thought :)



Paulo Coelho was born August 20 1947 in Rio de Janeiro, Brazil. He is a brazillian lyricist and novelist. He has become one the most famous author in the world today. He is the recipient of numerous prestogious international award, one of them is the Crystal Award  by the World Economic Forum and France’s Legion d’honneur. 

Paulo Coelho began to publish his first book when he was 38. His novel are Hell Archives ,The Pilgrimage, The Alchemist, Brida, The Valkyries, Eleven Minutes, etc. In total, Coelho has sold more than 150 million books over 150 countries and have translated into 71 languages. The unqiue thing is, he only writes a book when he has found a white feather in the January of odd year.

The young Paulo was a boy who wanted to be a writer, but when he conveyed his intention to his mother, his mother said that being writer was not good for his future. Nevertheless, Pauolo made such a rebellion in order to keep his dream to be a writer. Knowing this, his parents sent him to mental instruction or psychiatric hospital from which he had escaped three times before being released at 20. To follow what his parents wanted, Paulo enrolled in law school, abandoning his dream to be a writer.

One year later, Paulo dropped out and started drugs in the 1960’s. “In 1986, Coelho walked the 500 plus mile Road of Santiago de Compostela in northwestern Spain, a turning point in his life. On the path, Coelho had a spiritual awakening, which he described autobiographicalyy in The Pilgrimage” (Wikipedia). Santiago de Compostela itself is a site of Catholic pilgrimage. Coelho once stated in that year “I was very hapy in the things I was doing. I was doing something that gave me food and water to use the  metaphor in The Alchemist, I was working, I had a person whom I loved, I had money,  but I was not fulfilling my dream. My dream was, and stil is, to be a writer.”  He also said “I always knew that my personal legend, to use a term from alchemy, was to write.”

Paulo Coelho has married with Christina Oitica, an artist. They divide time between Brazil and France. In 1996, Coelho founded the Paulo Coelho Institute, which proides aid to children and elderly people with financial problems. On May 9, 2006, in Sofia, Bulgaria, Paulo Coelho was awarded by the President of Bulgaria Georgi Parvanov the "The Honorable Award of the President of the Republic"and in September, 2007, Coelho was called as Messenger of Peace to the UN (United Nations).

Paulo Coelho reached his peak popularity when he wrote a novel with a title The Alchemist. This novel really changes Coelho’s life as a writer. This novel makes him so famous and popular, translated into 71 languages, sold roughly 65 million copies, has made Paulo Coelho as the most translated book in the world by living author, according to Guinness Book World Record.
(Exposition) The story of The Alchemist begins when an Andalusian sheperd boy, Santiago, wants to be a wanderer. His parents do not allow him at first, because they wish that their son could be a priest. Becoming a priest is such a pride for his family—a poor farmer family. Besides, Santiago had studied in Seminary for 16 years. But, Santiago himself is more interested in knowing more about the world rather than God or humans’ sins. Santiago still insists to be a wanderer, and finally that his Dad permits him to go wandering.

One night, in his initial journey, Santiago dreams about a child whom tells him that if he goes to Pyramid in Egypt, he will find a treasure. When he comes to a forecaster, gypsi lady, to interprete his dream, she says that he should go to pyramid in Egypt, because there he will find a treasure. Later, Santiago meets an old wise king from Salem, Melchizedek, who tells him to sell his sheeps, and introduce him about Personal Legend and Soul of the World and gives him two stones, black and white stones named Urim and Thummim (black for yes, white for no). Nevertheless, Santiago must keep relying on his own decision. “Personal legend is what you have always wanted to accomplish. Everyone, when they are young, knows what their Personal Legend is" states Melchizedek. He also says “At that point in their lives, everything is clear and everything is possible. They are not afraid to dream, and to yearn for everything they would like to see happen to them in their lives. But, as time passes, a mysterious force begins to convince them that it will be impossible for them to realize their Personal Legend….whoever you are, or whatever it is that you do, when you really want something, it’s because that desire originated in the soul of the world. It’s your mission on earth.” Those quotations later will inspire Santiago to always continue his journey.

(Conflict) Santiago’s journey is not easy as Santiago thought. He faces a lot of obstacles, such as robbery in Tangier, the time when he can not speak any single of Arabic. He wants to be back home, but later he decides to stay and work in Crystal shop. After one year, he has already had enough money to buy sheep and return home. However, he recalls what  Melchizedek said, then at the last minute, he makes up his mind to take all risks and join caravan to Egypt.

In the caravan, he meets an Englishman who tells him about the alchemist. When he arrives in Al Fayoum oasis—the home for titular Alchemist, Santiago meets a beautiful Arabic girl, Fatima. He falls in love. He discovers that love is like Personal Legend, it comes from Soul of the World. There, Santiago is rewarded a position as a counselor, for his deed in warning upcoming battle. It makes him more settled living in Oasis. Therefore, Santiago is in two minds, between staying in Oasis with Fatima or continue his personal legend to find treasue in pryramid. But, the alchemist awakes him that he should pursue his personal legend. The alchemist teaches Santiago to keep listen his heart also will lead him to the treasure.

(suspense) Stepping close to pyramid, Santiago and the alchemist are taken prisoner by warring tribe. The alchemist says that Santiago is a magician, he can turn himself into wind. To know that, the tribemen are impressed and promising will let them free if they can prove it. Santiago has no idea what he is going to do. But, after 3 days meditating, he asks the Soul of the World to ask the elements to help him. First he asks the desert, then he asks the wind, after that he asks the sun and, at last, he asks the Soul of the World. Immediately, the wind whips up, and Santiago disappears and reappears on the other side of the camp. Afterwards, the tribemen let them free.

(Surprise) Afterthat, the alchemist shows the direction to pyramid and then leaves Santiago himself to continue the journey. In pyramid, once again Santiago meets robbers, they asks what Santiago’s intention coming there. Santiago answers that he will seek treasure that buried there, as what his dream has said. One of the robbers laughs at him, and says that he has had the exact same dream, except that in his, the treasure was buried in Spain. At that time Santiago realizes that the treasure is back in Spain the entire time.

(Ending) Then, Santiago goes back to Spain. He digs the ground below the tree when he got a dream about treasure. Voila, he finds a chest full of gold—enough for him and Fatima. The he says to himself “I am coming Fatima”
From the story of The Alchemist which takes place in Andalusia (Spain) and Egypt (Africa) we can conclude that the stor is about understanding life, especially to understand our Personal Legend (dream). The theme is about pursuit of Personal Legend. As we can meet in the novel that the story tells about Santiago struggle to get his Personal Legend. He must allow his wealth, sheep and leave Fatima for his Personal Legend.

In the story also, we will find some symbols, eg the alchemist, Personal Legend, Urim Thummim, Melchizedek from Salem, and Soul of the World. The alchemist as the one who can changes base metal into more valuable metal symbolizes Santiago’s journey to achieve his Personal Legend. As Santiago undergoes, his journey to reach Personal Legend has turned him into more valuable person—a person who can fulfill what his trully desire—travels to the Pyramid, learns about life, dream, and love and then getting gold. Personal Legend represents dream—a heart calling—something that every person has. Melchizedek from Salem—Melchizedek in the book of genesis is a king of Salem. Salem is another name of Jerussalem. Salem is semitic root of š-l-m means safe, peace, as shalom in Hebrew which means  peace. Therefore, Melchizedek symbolize the God messenger from city of God (Jerusalem) to help the dreamer whom is in process to pursue dream (Personal Legend). As novel says “because every second of the search is a second's encounter with God and with eternity” . Soul of the Universe symbolizes spiritual unity which binds all natural elements and human beings into one spirit. This spirit will lead the dreamer to understand that by Soul of the World he can make all elements in the world conspires him to get his one goal: achieving dream. This symbol is reflected when Santiago has to transform himself into wind in front of tribemen whom prison him and the alchemist, he asks help to Soul of the World to ask the elements (desert, wind, sun) to help him. Then he finally change into wind. This is also emphasizing the quotation from Melchizedek (“when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it"). Urim and Thummim is a medium to help Jews to make divination who is wrong, who is right. It was usually used by Spritual leader of Jew. The use of Urim and Thummim can be known in Samuel 14:41 ‘ Therefore Saul said, “O Lord God of Israel, why have you not answered your servant this day? If this guilt is in me or in Jonathan my son, O Lord, God of Israel, give Urim. But if this guilt is in your people Israel, give Thummim. And Jonathan and Saul were taken, but the people escaped’. Therefore, in the story Urim and Thummim symbolizes the God’s help if Santiago can not find the answer or can not decide.

The Alchemist uses limited omniscient point of view. Coelho as the author tells the story from the point view point of Santiago. As written here “The boy mumbled an answer that allowed him to avoid responding to her question. He was sure the girl would never understand”. Meanwhile, if we are talking about characters, there are several characters inside Santiago, King Melchizedek from Salem, the alchemist, Fatima, and the gypsi lady. Santiago is round protagonist. He mostly acts kind during the story, but sometimes he does wrong thing such as being hopeless such as when he lose his sheep he almost gives up to be back home and let his Personal Legend away. King melchizedek is flat protagonist because he helps Santiago to gain his dream by giving wise suggestions. The alchemist is protagonist because he leads Santiago where the treasure lies. Fatima is also flat protagonist because she convinces Santiago to always recall his Personal Legend, she is sincere to be left by Santiago though she loves him so much. Unlike, the 4 characters that have been mentioned before, a gypsi lady is antagonist because she is such a money minded, she does not want to interpret his dream except he gives her one tenth of the treasure.

After reading the novel, I can draw conlusion that this story provides us a message that to be really we are, we should fulfill our dream, because it is our heart calling, our treasure. As once states in novel
“ ‘Why we must listen our heart?” asked the boy while they were building tent that day
“Because wherever your heart is, there you will find your treasure’ ”. Do not have to be afraid of being failed because God and universe will support us, as stated “Tell your heart that the fear of suffering is worse than the suffering itself. And that no heart has ever suffered when it goes in search of its dreams, because every second of the search is a second's encounter with God and with eternity”.

Sources:
www.biblegateway.com
www.sparknote.com
www.wikiquote.com